🌦️Kelas 2 : BAIKAN

408 40 2
                                    

"Maaf ..., maaf, Fer. Aku nggak bermaksud, aduhhh ... nggak tau kenapa aku jadi gini. Maaf, ya, Fer," kataku memohon maaf. Aku tidak bisa menemukan alasan yang pas untuk menjelaskan kenapa aku bisa salah sebut nama.

"Shila, kamu masih suka, ya sama Adhit?" tanya Feri sambil memandangku. Tatapannya begitu sepi. Aku serba salah dibuatnya.

'Aku selalu suka dia, Fer. Selalu! Hanya saja, aku tidak bisa mengerti kenapa ada jarak di antara kami saat ini.'

"Aku pikir, sejak kamu sering main basket denganku, kamu sudah belajar melupakan Adhit."

'Melupakan Adhit? Tidak terpikir sedikit pun olehku. Kami tidak putus, Fer. Tidak!'

"Coba lihat dirimu sekarang. Lebih kurus di banding sebelumnya. Walau kuakui, sih itu membuat kamu jauh lebih menarik. Bukannya tidak menarik sebelumnya, Shil. Bukan itu maksudku. Kamu selalu menarik buatku sejak SMP dulu."

'Apa, sih yang Feri bicarakan?'

"Kamu pikir kenapa aku sengaja menyakitimu jika ingin hujan turun? Itu karena aku suka melihat air matamu yang turun bersama hujan. Nampak berkilau dan sewarna dengan air hujan. Aku suka hujan, Shil. Membuatku damai melihat airnya turun. Suaranya merdu seperti lagu nina bobo yang menidurkan."

'Orang aneh! Bikin orang nangis cuma untuk bikin dia bahagia.'

"Maaf, Shil kalau dulu aku sering nyakitin kamu. Tapi jika kamu beri kesempatan, aku akan memperbaikinya."

'Apa maksud omongannya, sih? Nggak ada yang terjadi di antara kita, kok. Dan nggak ada yang perlu di perbaiki!'

"Shila, berhentilah menjadi Shilanya Adhit! Jadilah diri kamu sendiri. Coba kamu lihat, kamu lebih nyaman tertawa denganku, kan? Sedang bersama Adhit kamu seolah mencoba menjadi cewek yang pantas bagi dia. Sadarlah, Shil! Denganku kamu nggak perlu jadi siapa-siapa. Kamu tau itu. Aku nggak punya penggemar yang setiap saat menilaimu atau ingin menyakitimu. Aku memang tidak seperti Tuan Sempurna Adhitya, tapi aku janji kamu akan lebih nyaman dan bahagia bersamaku."

'Bagaimana kamu tau aku akan lebih bahagia denganmu? Tidak taukah kamu, aku sudah mengikat diriku begitu kuat pada Adhit. Tidak taukah kamu, hanya Adhit yang bisa menyuruhku pergi dari sisinya. Dan dia tidak pernah mengatakan itu. Kami akan baik baik saja. Seharusnya kami baik baik saja.'

"Shila, kamu nggak harus jawab sekarang. Pikirkanlah dulu. Aku tau kamu perlu waktu. "

'Aku tidak perlu waktu untuk merubah keputusanku.'

Kupandangi gelang ditanganku.

' Adhit tidak memintaku pergi. Tidak! Aku tidak mau menyerah dengan Adhit. Hubungan kami pasti bisa di perbaiki.'

"Maaf, Fer. Untuk saat ini aku tidak bisa," kataku tanpa berani menatap Feri.

"Aku mohon pikirkanlah dulu. Kamu tidak bisa menyiksa diri terus-menerus." Feri memegang bahuku seolah memintaku menatapnya. Aku menolak.

'Begitukah yang terlihat? Aku tersiksa? Jika Feri bisa melihat itu kenapa Adhit tidak? Ada apa denganmu, Dhit?'

"Aku mau pulang, Fer. Aku mau sendirian dulu," kataku sambil akhirnya memandang wajah Feri. Dia mengangguk dan membiarkanku pergi dari hadapannya.

***

_A.D.H.I.T_

Kamu tidak tau betapa aku sangat cemburu, Cila. Tapi aku hanya mematung melipat dada melihatmu di lapangan. Setiap angka yang kamu ciptakan, kamu menoleh padanya. Tertawa. Dan dia membalas dengan tawa yang sama atau memberikan dua jempolnya padamu. Kamu tak tau betapa aku ingin tawa itu kembali padaku. Rasanya ingin aku tarik tanganmu dari lapangan itu dan membawamu ke tempat dimana hanya ada kita. Tapi aku takut membuatmu terluka. Menghilangkan binar di matamu. Aku tak sanggup melihat sedih dimatamu itu.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang