☀️ Pertemuan

115 8 3
                                    

Dia melihat cowok itu ketika sedang mengantre di wartel. Bagi anak kosan, sebelum jam enam pagi adalah waktu terbaik untuk menelepon karena diskon interlokal yang sangat murah. Jadi bisa dipastikan kalau anak kuliahan yang antri di wartel ketika embun masih penuh di daun pasti anak rantau yang harus laporan kepada orang tuanya. Termasuk dirinya.

Dengan mata masih mengantuk dan belum gosok gigi, Shila menunggu dengan sabar cowok itu selesai menelepon. Hari ini, penjaga wartel hanya membuka satu bilik telepon karena yang mengantre tidak terlalu ramai. Diam-diam Shila mengagumi rambut gondrong milik cowok itu. Dari belakang, yang ada di kamar telepon itu terlihat seperti cewek. Tapi ini belum jam enam dan suasana sangat hening, sehingga tawa yang pelan pun terdengar cukup nyaring. Perempuan, mana ada yang suara tawanya ngebass?

Rambut gondrongnya terlihat lurus dan tebal. Berulang kali dia mengibaskan rambut layaknya bintang iklan shampo. Sebagai perempuan berambut ikal syemrawut, tentu saja Shila iri melihat cowok yang rambutnya setaraf bintang iklan internasional. Dalam hati Shila bertanya-tanya, cowok kayak apa, sih yang punya rambut gondrong tapi terawat?

Harapannya terkabul. Cowok itu berdiri di depannya. Jaketnya lusuh, celana jeansnya sobek-sobek, kulitnya terbakar matahari, tapi aroma tubuhnya sungguh menyegarkan. Perpaduan aroma kayu-kayuan dengan spearmint. Dan ketika dia mengibaskan rambutnya di depan Shila, aroma hair tonic yang biasa dipake di salon menyeruak masuk ke hidung Shila.

Biasanya cowok dekil identik dengan bau badan dan jarang mandi. Namun cowok yang sekarang sedang berdiri di depan kasir itu, membuat seorang Shila merasa nyaman dan ditenangkan. Perasaan hangat yang sudah lama hilang, muncul kembali.

"Teh, jadi nelpon apa enggak?" tegur Ade, penjaga wartel yang baru lulus SMA.

"Eh, oh, iya, ja-jadi, De." Shila bergegas masuk ke bilik telepon lalu memutar nomor telepon rumahnya. Hari ini hari Minggu. Karena di kosan Shila tidak ada telepon maka dia yang selalu memberi kabar ke rumah setiap Minggu pagi.

Sebenarnya Papa sudah menawari untuk membeli ponsel. Namun karena harganya lumayan mahal, Shila menolak dibelikan. Lagi pula dia tidak terlalu membutuhkan alat komunikasi modern itu. Tidak untuk saat ini.

Saat ini Shila lebih membutuhkan dana segar, karena dia ingin segera mengajukan skripsi. Dan untuk menambah pengalaman, dia ingin melakukan penelitian di luar Bandung. Shila sudah menghubungi beberapa perusahaan dan ada satu perusahaan yang sesuai dengan kriterianya. Tempatnya di Bogor. Proposalnya sudah disetujui jurusan, dia tinggal mengambil data ke Bogor.

"Hallo? Ma? Sehat? Shila agak masuk angin karena semalam begadang. Ma ..., Shila mau skripsi ke Bogor. Boleh?"

Hampir tiga tahun Shila kuliah di Bandung. Dia tidak sempat ikut UMPTN sehingga Papa mendaftarkannya ke FE Unpad program Diploma III, jurusan akuntansi yang berkampus di sekitaran Dipati Ukur. Selama di Bandung, Shila menghabiskan waktu hanya untuk belajar agar cepat lulus. Jika dulu dia tidak suka belajar, kini dia menjadikan buku-buku sebagai pelariannya.

"Mama tenang aja. Shila berdua sama teman ke Bogornya. Dia memang asal sana jadi nanti nginap di rumahnya."

Selama kuliah, Shila membatasi pergaulan. Bukan saja karena dia takut terjerumus ke dalam lingkungan pergaulan bebas yang seolah melekat pada siswa jurusannya, tapi dia takut terluka lagi. Sedangkan luka lama yang dia derita masih sering mengeluarkan nanah dan terasa nyeri.

Tiga tahun sudah dia menutup diri. Menghilang dan tak ingin dilacak. Bahkan kedua orang tuanya mengajukan mutasi ke Bontang tidak lama setelah dia menjadi mahasiswa baru. Tiga tahun juga air matanya kering, hatinya membatu, dan senyumannya dingin. Pijar-pijar di bola matanya padam. Shila seperti mati. Kini dia sadar, mencintai itu tidak boleh berlebihan. Karena sakit saat kehilangan rasanya bisa berlipat-lipat.

"Tahun depan Shila harus wisuda lalu lanjut ambil ekstension. Abis tu baru cari kerja. Papa kapan pindah ke Jawa lagi?"

Selama hampir tiga tahun Shila di Bandung, dia hanya ketemu keluarganya setahun sekali sewaktu libur lebaran. Tiket PP ke Bontang tidak bisa dibilang murah. Di luar waktu itu, dia berdiam diri di Bandung. Cari kerja sambilan atau ambil kuliah semester pendek. Tidak sedikit pun dia menginjakkan kaki atau berniat mengunjungi Cilacap. Baginya, dia sudah selesai dengan kota itu.

Namun dia merasa, jika keluarganya rindu pulang ke Jawa. Apa lagi menurut Mama, ada posisi kosong di Cilacap yang sesuai untuk Papa. Artinya, ada peluang bagi Papa untuk mendapatkan promosi. Ini sangat berarti sekali bagi karir Papa. Namun pulang ke Cilacap sama seperti merobek luka lama. Di kota itu kenangannya masih tertinggal. Di kota itu, sebagian hatinya telah terkubur. Sekadar mengingat saja membuat sayap-sayap kelelawar menggelepar di dada Shila.

"Shila baik-baik aja, Ma. Jangan karena Shila, Papa batal dapat promosi. Shila nggak serapuh dulu. Shila kuat, kok!" Shila berusaha meyakinkan Mama jika dirinya tidak apa-apa.

Mama dan Papa telah berkorban banyak untuknya. Sampai harus pindah segala agar Shila bisa membuka lembaran baru kehidupannya dan tidak dibayang-bayangi kota yang telah menorehkan rasa sakit di hatinya.

"Shila pasti pulanglah, Ma. Cuma Shila nggak akan keluar rumah. Cilacap kota kecil, Shila nggak mau ambil resiko."

Selama tiga tahun, dia atau pun keluarganya tidak pernah mengungkit peristiwa itu dan juga nama itu. Mama juga paham, jika Shila berkeliaran di Cilacap, ada kemungkinan dia akan bertemu dengan orang itu. Dan Shila tidak akan pernah siap untuk saat itu.

"Dia pasti masih di Cilacap, Ma. Shila yakin."

Sekalipun dia dan seseorang itu tidak saling mencari, tapi Shila yakin jika mereka berdua saling menunggu. Entah siapa yang akan meruntuhkan hatinya dan mengalah terlebih dahulu. Namun sejak dulu dia hanya seorang pengikut yang menurut pada setiap perkataan Alfanya.

"Nanti Shila kasih tau kapan mau ke Bogornya. Papa kirim aja dulu uang perjalanannya. Yang pasti Shila ngejar wisuda tahun depan. Kalo bisa, sih pas Shila wisuda Papa udah pindah ke Jawa. Yaa, biar nggak berat di ongkos," katanya sambil menghela napas perlahan. Dia harus memberi kesan jika dirinya baik-baik saja.

Shila sudah pernah merasakan sakit yang teramat sangat, sakit stadium paling tinggi. Sakit seperti apa lagi yang bisa membuatnya terpuruk? Shila merasa hatinya sudah kebas. Bahkan air matanya sudah dibawa pergi hujan dan entah disembunyikan di mana.

"Sudah dulu, ya, Ma. Shila mau ke Gasibu. Mau cari sarapan. Dahh, Mama. Salam buat Papa dan Fadhil."

Shila mengakhiri telepon interlokalnya. Suara printer dot matriks memecah keheningan pagi. Diliriknya arloji di pergelangan tangan, masih banyak waktu untuk refreshing ke gasibu. Dia pun bergegas keluar dari bilik telepon.

Di luar bilik, matanya bertemu pandang dengan seseorang. Jeda beberapa detik, sebelum akhirnya seseorang itu berdiri dari duduknya dan tersenyum lebar padanya.

"Hai!" sapa seseorang itu.

©elopurs - 2019

__________________

Haiii ... Apa masih ada yang mengikuti cerita ini?

Setelah membaca ulang cerita ini dari awal, aku, kok jadi pengen ngelanjutin ceritanya, ya? Bhahahaha ...

Cerita Shila pas kuliah dan ketemu sama suaminya sekarang. Ntr bakal ada kejutan kejutan baper yang bikin greget.
Cerita ini udah ditulis beberapa part. Dan nggak akan terlalu panjang. Pokoknya cukup aja nyambung sama Men in the lockers.

Selamat membaca dan semoga menikmati.

Yang belum vote jangan lupa ninggalin voment sebelum pergi.

Untuk info tentang novel yang sedang ditulis, pliss follow IG celopurs

😘😘😘

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang