🌦️Kelas 2 : KLUB PENGGEMAR

429 45 0
                                    

Aku dan Febi pergi ke satu-satunya pusat perbelanjaan di kota kami. Tak banyak pilihan di situ, tapi kalau sudah terdesak seperti ini mau tidak mau harus beli di situ.

"Apa nggak sebaiknya ditunda saja kasih kadonya, Shil?" tanya Febi ketika dilihatnya aku hanya berputar-putar saja. Aku menggeleng.

"Aku nggak mau kalah sama fansnya Adhit?"

"Kalian, kan nggak sedang berlomba dapetin Adhit. Satu sekolah juga, dah tahu kalau kamu ceweknya."

Aku memandang sebal sama Febi. Kalau aku nggak ngasih kado, bisa dikira kurang perhatian sama Adhit. Trus kalau Adhit dapet perhatian dari yang lain terus-terusan, bisa jadi Adhit kepikiran buat berpaling. Memikirkan kemungkinan itu membuat hatiku kesemutan.

"Mas, lihat liontin yang itu, dong!" tunjukku pada sebuah liontin yang di pajang di etalase perhiasan perak.

"Bagus, nggak, Feb?" tanyaku minta pendapat Febi. Liontin tersebut berbentuk bulat dengan motif ukiran sulur-sulur dan banyak daun-daun kecil di batangnya. Kelihatan kuno dan antik. Yang menarik adalah ternyata liontin itu bisa dibuka dan ada tempat kosong di baliknya untuk menaruh foto kita dan pasangan. Fotoku dan Adhit. Aku tersenyum membayangkan itu.

"Buat Adhit?" tanya Febi. Aku mengangguk.

"Masa liontin? Yang enggak-enggak aja, deh kamu."

"Aku modifikasi dikit ntar, Feb. Jadi bukan liontin lagi," kataku sambil tersenyum memandangi liontin itu.

"Bungkus pake kotak, Mas, " pintaku pada penjualnya. Liontin pun diletakkan pada kotak kecil polos berwarna biru dengan pita kecil biru muda. Pas. Sesuai dengan warna kesukaanku.

~o0o~

Sekolah masih ramai ketika kami kembali tiba di sana. Selain bazar ada juga pentas seni di lapangan tengah. Ada band antar kelas dan juga pertunjukan teater. Seharusnya aku ikut serta dalam pertunjukan itu. Tapi aku malas jadi pusat perhatian lagi. Kebayang seandainya aku ikut, pasti ramai yang menonton hanya untuk menilai penampilan ceweknya Adhit. Kalo aktingku bagus mungkin mereka akan bilang, "Bolehlah aktingnya Shila setidaknya nggak bikin malu Adhit."

Kalo aktingku buruk, "Kasian Adhit, punya cewek kepedean. Apa bagusnya, sih Shila itu?" Dan akan lebih banyak lagi komentar buruk lainnya jika penampilanku jelek dibanding komentar baik jika penampilanku baik.

Hari ini sekolah kami terbuka untuk umum. Bazar berlangsung sampai sore. Siswa sekolah lain pun boleh datang bila mau asal tidak rusuh. Dan sepertinya mereka mulai berdatangan. Kulihat beberapa seragam yang berbeda dengan seragam kami terlihat berkeliaran di sekolah.

"Dari mana aja, sih kamu ?" tanya Adhit gusar, tiba-tiba dia menghampiri kami dan menarik lenganku.

"Eh, aku, ke ..., sama ..., Febi...." jawabku kaget bercampur bingung.

"Ayo ikut aku!" katanya sambil setengah menyeretku. Aku memandang Febi seolah minta maaf dan terima kasih. Febi balas memandang dengan senyum penuh pengertian. Aku hutang semangkok mi ayam kepadanya. Atau mungkin dua. Ahhh ..., suka-suka dialah mau makan berapa.

"Mau kemana kita, Dhit?" tanyaku ketika duduk di motor Adhit.

"Kencan," jawab Adhit pendek.

"Ke mana?" tanyaku ingin tahu.

"Pegangan saja yang kuat! Ntar kalau dah sampe kamu juga tahu," jawab Adhit sambil memacu motornya.

~o0o~

Aku memandang Adhit, ketika kita sudah sampai di tempat tujuan. Sering dengar, sih tempat ini dari teman-temaku. Kafe keren, makanannya juga enak. Tapi belum pernah aku masuk ke sini. Mau pergi sama siapa? Rata-rata yang datang ke sini berpasangan. Nggak mungkin aku ke sini ngajak Febi. Dia pernah kesini sama seseorang yang dia rahasiakan namanya. Aku belum berhasil menebaknya. Dan Adhit, aku nggak berharap dia mau kesini. Dia kurang suka ke kafe.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang