⛈️Kelas 3 : LAMARAN?

401 36 4
                                    

"Mas Adhit, anterin Donna pulang, dong! Kita, kan searah."

Tiba-tiba saja Donna sudah berada di samping motor Adhit. Kayak jaelangkung aja, deh. Tiba-tiba nongol bawa petaka. Shila hampir saja menjatuhkan helm yang diberikan Adhit padanya.

"Emm, jemputan kamu ke mana?" tanya Adhit sambil pasang wajah tak ramah.

"Nggak tau. Ditungguin nggak datang-datang," jawabnya manja sambil merengut.

Dusta! Pikir Shila. Pasti Donna sengaja menyuruh supirnya tidak datang menjemput. Atau jangan-jangan Donna sudah meracuni supirnya sehingga saat ini mayatnya sedang menunggu untuk ditemukan. Pikiran-pikiran buruk berkelebat di kepala Shila. Tapi pikiran buruk yang paling menyenangkan saat itu adalah mengikat Donna di tiang bendera dan membiarkannya mengering kepanasan. Seperti celana dalam Hastuti yang di jemur geng Wijat di tiang bendera sekolah. Ah, Hastuti yang malang. Kenapa harus dia yang selalu jadi korban pelecehan geng Wijat? Kenapa bukan Donna saja?

Ah, tentu saja, itu karena Hastuti amat jelek dan menyebalkan sedangkan Donna teramat cantik dan menggemaskan.

"Mas sudah janji mau pulang bareng Kak Shila. Jadi nggak bisa anterin kamu. Kamu pulang naek angkot aja, ya. Atau tunggu saja dulu nanti kalau sudah sampai rumah, Mas kasih kabar ke mamamu kalau kamu minta dijemput. Gimana?" Adhit berusaha sabar. Gimana-gimana juga, Donna itu tetangganya.

"Yah, Mas, kita, kan tetangga. Mamah dan Tante pasti heran, kenapa Mas Adhit nggak ngajak Donna pulang bareng malah pulang duluan." Donna bergelayut manja di lengan Adhit, bikin Shila muak dan pengen muntah. "Lagian rumah Kak Shila itu dekat, nggak searah juga sama kita. Dia pasti nggak keberatan kalau pulang jalan kaki. Iya, kan, Kak?" Donna memandang Shila dengan senyum yang dimanis-maniskan.

Shila benar-benar tidak menyangka kalau Donna berani menyuruhnya seperti itu. Diam-diam dia kagum dengan rasa percaya diri Donna. Sayangnya dia bukan tipe orang yang suka berdebat untuk hal-hal konyol dan dia juga tidak suka membuat Adhit bimbang. Baginya, menghadapi kekeraskepalaan Donna hanya membuang waktu. Dia tak akan menyerah begitu saja sampai Adhit menjadi miliknya.

"Kalau Adhit menyuruh aku pulang jalan kaki, aku akan jalan kaki. Tapi kalau dia tetap mau mengantar aku, ya, nggak kutolak," jawab Shila berusaha tenang, "Terserah kamu, Dhit."

"Aku tetap antar kamu, Cil. Seperti biasa." Adhit berkata tegas dan Shila merasa ada kekesalan dalam nada suaranya.

"Maaf, ya, Donna, setiap pulang sekolah, Mas jadi milik Kak Shila. Sampai ketemu nanti sore saat les, ya, Donna." Adhit buru-buru menstater motornya dan menepis tangan Donna hingga lepas.

Belum sempat Shila naik di jok belakang motor Adhit, Donna mendorong tubuh Shila menjauh dari motor dan menggantikan tempatnya. Dia langsung melingkarkan tangannya ke pinggang Adhit. Shila terhuyung ke belakang, tubuhnya membentur tiang atap parkir. Adhit terkejut melihat perlakuan Donna. Wajahnya tak lagi ramah.

"Apa-apaan, sih, Don?" tanyanya sambil turun dari motor dan bergegas menghampiri Shila.

"Sudah kubilang, Kak Shila nggak keberatan." Donna masih duduk di motor Adhit.

"Dia nggak keberatan, tapi aku yang keberatan. Turun!"

"Nggak mau."

"Turun nggak?"

"Aku bilang nggak mau!" Donna bersikeras.

"Oke kalau begitu." Adhit mengunci motor dan mencabut anak kunci lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Dia lalu menggandeng tangan Shila dan menariknya menuju gerbang sekolah.

"Dhit? Kita mau ngapain?" tanya Shila berlari-lari kecil karena ditarik Adhit yang berjalan cepat.

"Pulang ke rumahmu. Kita jalan kaki aja. Kamu nggak apa-apa, kan jalan kaki? Nanti minta tolong adekmu buat jemput motorku, ya," jawab Adhit tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang