☀️ Kilas Balik

115 9 0
                                    

Cowok itu tersenyum kikuk memandang Shila yang juga sama kikuknya.

"Punten, ah. Notes saya ketinggalan di dalam," katanya sopan.

"Oh, eh, iya, silakan," kata Shila lalu menggeser tubuhnya dari depan bilik telepon. Dia sedikit malu karena tadi sempat ge-er. Sambil senyum sendiri, dia melangkah menuju kasir dan membayar biaya percakapan dengan Mama tadi.

Sewaktu menunggu kembalian, dia mendengar pintu bilik telepon berderit. Sebenarnya dia ingin menoleh, ingin tahu ke arah mana cowok gondrong dan wangi tadi pergi. Tapi dia gengsi. Jadi yang dilakukannya hanya berdiri tegak dan pura-pura melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 lewat sepuluh. Masih ada waktu untuk ke Gasibu.

"Ini, Teh, kembaliannya. Nuhun, ya! Punten lama nungguin," kata Ade, penunggu wartel.

"Nggak papa, De. Nggak buru-buru, kok. Udah sarapan belum, De?" tanya Shila.

"Mana sempat atuh, Teh. Tadi aja buka wartel karena digedor si Ipank. Kalau enggak, Mah, nggak bakal buka da masih molor." Ade bersungut-sungut sambil menguap. Aroma pagi belum gosok gigi membuat Shila mengibaskan tangannya di depan hidung.

"Gosok gigi dulu, gih! Aku mau ke Gasibu, nanti aku beliin bubur ayam. Mau, nggak?"

"Ya mau atuh. Masa rezeki ditolak. Eh, pake sate ati, ya, Teh." Ade cengar-cengir menyebutkan permintaannya.

Shila termasuk salah satu anak kosan yang sering membangunkan Ade subuh-subuh. Jadi sesekali dia membalas kebaikan pemuda itu dengan membelikannya makanan.

"Dasar! Udah gratis masih nawar. Ya, udah aku berangkat dulu, ya!" Shila melambaikan tangan pada Ade dan berlari kecil ke pinggir jalan Jalaprang. Menunggu angkot yang akan membawanya mendekati Gasibu.

***
Suasana Minggu pagi di Gasibu luar biasa padatnya. Sopir angkot banyak yang malas melintas di kemacetan dan memilih mencari jalur alternatif yang lebih lengang. Shila diturunkan sebelum Telkom dan dia harus berjalan kaki menuju keramaian di Gasibu. Bergabung dengan ratusan atau mungkin ribuan pejalan kaki yang memenuhi lapangan Gasibu dan seputaran gedung Telkom.

Tujuan mereka bermacam-macam. Dari mulai sekadar cuci mata, belanja, kulineran, ikut senam pagi atau bahkan jualan. Banyak anak mahasiswa yang buka lapak di sini. Ada yang jualan makanan, minuman, hasil kerajian, buku dan kaset bekas, atau menjual jasa.

Selain mencari sarapan yang unik dan enak, biasanya Shila ke Gasibu untuk berburu komik atau novel bekas. Dia suka sekali membaca Donal Bebek. Dan Minggu pagi menjadi agenda tetapnya untuk berburu majalah Donal Bebek bekas. Namun kali ini, Shila hanya ingin jajan cilok dan membelikan bubur ayam untuk Ade. Dia sedang tidak punya uang lebih untuk membeli majalah.

"Cila! Tunggu!"

Reflek, kepalanya menoleh mendengar panggilan itu. Langkahnya juga terhenti.

"Mau ke mana Neng Cila, teh? Jangan cepet-cepet jalannya atuh!" Seorang ayah muda terlihat sedang membuntuti gadis kecil usia balita yang berlari girang ke arah penjual mainan.

Shila mendesah. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia harapkan? Setelah sekian lama, apa yang dia rasakan? Tidak mungkin masa lalunya mengikuti dia sampai ke Bandung. Lagi pula, dia mendengar kabar jika masa lalunya itu sudah menikah dan pasti sudah lupa padanya.

Tempat bahagianya pun sudah berubah.

Shila memainkan cincin bermata merah delima di jari manisnya. Tak sekalipun dia pernah melepas cincin itu. Sebenarnya pernah sekali dia meminta Mama mengembalikan cincin tunangannya, tapi pemilik asli cincin menolak untuk menerima kembali.

"Pertunangannya mungkin batal. Tapi saya percaya, perasaan keduanya tidak berubah. Cincin itu sudah di jari yang tepat." Mama pulang dengan membawa kembali cincin itu.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang