Mustahil ini terjadi.
Ciuman tadi tidak benar-benar terjadi, kan?
Tangan Shila memegang bibirnya, matanya memejam, merasakan lembut yang tadi menyelimuti kedua bibirnya. Ciuman yang ini berbeda. Sedikit menuntut dan tergesa. Tidak seperti ciuman Adhit yang lembut dan perlahan, tapi bisa membuat Shila mabuk dan tak ingin melepaskan diri. Adhit menciuminya penuh perasaan dan tak pernah terburu. Seolah mereka memiliki waktu selamanya untuk saling merasai dan seolah waktu begitu berharga baginya untuk menikmati setiap inci bibir Shila.
Itu Adhit. Tapi ini bukan Adhit. Astaga! Kenapa dia membandingkan Adhit dan Ipank pada saat ini? Kenapa harus muncul bayangan Adhit pada saat seperti ini? Bertahun dia berlari dan bayangan itu belum juga bisa terhapus. Bagaimana? Bagaimana caranya menghapus jejak di tanah basah?
Shila menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ini sungguh memalukan! Dia tidak tahu apa pikiran Ipank soal dirinya. Wanita macam apa coba yang membuka bibir pada ciuman pertama mereka padahal sebelumnya tidak ada komitmen apa-apa. Dan dia menikmatinya!
Bodoh! Shila memaki dirinya sendiri.
Kedua telapak tangannya menutupi wajah. Sekarang bagaimana dia harus menghadapi Ipank? Rasanya dia nggak punya muka untuk menghadapi lelaki itu dan dia juga nggak punya jawaban kalau Ipank bertanya padanya.
"Hah, sial! Seharusnya aku nggak kasih kelonggaran sejak awal. Udah mau sidang dan aku harus fokus ikut ekstension abis ini. Aduhhh .. malu banget nggak sih?"
Shila menelungkupkan tubuhnya dan mulai berteriak-teriak untuk menuntaskan malunya.
Tiba-tiba dia bangkit dan duduk sambil mengatur napas. "Pokoknya aku harus menghindari Ipank untuk sementara waktu. Kalau perlu selamanya. Selama ini nggak ada cowok aku baik-baik aja, kenapa sekarang tiba-tiba jadi gini?"
Shila tidak mau membuka perasaannya begitu saja. Selama ini dia merasa baik-baik saja dengan kesunyiannya dan tidak mau ada perubahan dalam hidupnya. Jatuh cinta selalu membuatnya sakit dan dia tidak mau mengulangi lagi.
Namun tekad hanyalah sebuah kata-kata yang disematkan dalam hati dan dia tak cukup kuat untuk berdiri tanpa pondasi. Keesokan harinya ketika Shila mau berangkat kuliah seperti biasa, Ipank sudah menunggunya di depan wartel Ade. Melihat Shila yang berjalan tergesa, Ipank memanggil dan mesejajari langkahnya.
"Aku mau ngomong sebentar."
"Nggak bisa. Aku buru-buru mau bimbingan. Nggak ada waktu."
"Kamu marah?"
"Untuk apa?"
"Jadi kamu nggak papa soal kemarin?"
"Jangan diingetin."
"Shila ... aku minta maaf. Itu ... spontan."
Shila menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ipank. "Aku nggak mau diingetin soal itu, oke! Nggak terjadi apa-apa kemarin dan aku nggak mau terulang lagi." Setelahnya gadis itu menyeberang jalan untuk menunggu angkot yang akan membawanya ke kampus.
Mereka berpandangan sesaat sebelum Shila menghilang masuk ke dalam angkot yang akan membawanya ke tujuan. Ipank masih berdiri di tepi jalan memandangi angkot yang membawa Shila hingga hilang ditelan keramaian. Dia mendesah dan memaki pada diri sendiri. Kenapa juga kemarin begitu spontan mencuri ciuman dari gadis itu.
"Tapi dia juga nggak nolak, sih! Kalau nggak gara-gara kutu kupret si Pepi, nggak akan Shila kabur gitu aja," katanya lirih pada diri sendiri.
Ulah Ipank yang ngomong pada diri sendiri menarik perhatian cewek-cewek yang melintas hendak jalan kaki ke kampus yang sama dengannya. Ipank bukannya jelek-jelek amat. Dia tinggi, badannya bagus karena dia suka banget jogging. Kadang pagi di Gasibu, kadang tengah hari,di sepanjang jalan pahlawan, pakai tudung kepala dan jaket. Kata Ipank, cara itu manjur buat menurunkan bobot tubuhnya yang sempat membengkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain to You
Romance(Before Men in The Lockers) Shila, cewek yang kalo nangis bisa nurunin hujan. Yang kalo ketawa matanya bersinar-sinar. Ketika Adhit, cowok popular satu sekolah yang ganteng dan tajir mlintir, nunjukin tanda kalo suka padanya, Shila berusaha menyangk...