VI

39 6 0
                                    

Ia memasuki ruangan UKS meminta obat, namun ia samar-samar melihat sepatu yang tadi malam ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, apakah itu benar Devon atau kakak kelas, ia ingin membuka tirai pembatas itu, ingin melihat yang sebenarnya. Mungkinkah Devon? Ia segera membuka tirai tersebut dengan pelan, kaus kaki hitam, celana abu-abu diatas mata kaki, gesper hitam melingkar, dan sebuah masker menutupi wajah seseorang, Celia melihat surai laki-laki itu, tap! Itu devon, yang tergulai lemas diatas kasur UKS, matanya terpejam, sebagian wajahnya tertutup masker abu-abu, Celia terkejut, bukan main. Sejak awal pagi tidak ada satupun satpam atau guru bk datang untuk memberi surat sakit Devon, hingga sebagian guru mengalphakan dirinya tanpa keterangan. Celia duduk perlahan disebelah kaki Devon, tangannya terulur ke arah jidat. Panas, yang dipikirkan Celia, iya pelan- pelan membuka masker tersebut, bibirnya pucat, nafas dengan mulut. Dia demam, bukankah dia bilang sendiri kalau hujan turun setelah ia sampai rumah? Apa disaat mengantar Celia, dia kemudian berhenti disuatu tempat, dan kemudian hujan turun? Semuanya bertanya kepada Celia, ia berfikir ini salah dirinya.

Perlahan ia mengambil ponsel Devon yang tergenggam erat ditangannya, ia menyalakan layarnya dan terpampang dengan jelas bahwa ia ingin menuliskan kalau dia izin tidak masuk karena alasan urusan keluarga ke Celia, ia terhenyak, sebegini kah ia berbohong ke Celia agar tidak bergitu khawatir karena keaadaanya? Sebegini kah usaha yang ia lakukan? Pembohong. Mengapa tidak secara langsung saja dengan jujur memberikan yang benar? Mengapa harus dengan cara berbohong? Celia meletakkan ponsel Devon ke meja samping, matanya sudah terpenuhi air mata yang mendesak ingin turun, menghujani pipi kering Celia. Ia berbalik badan, namun suara Devon memanggil, cepat-cepat ia singkirkan air mata itu.

"Cel," suara khasnya menghilang, tergantikan suara serak, Celia mengambil nafas teratur, membalikan badannya dan kemudian berdiri

"Kenapa? Kok gabilang aja kalo sakit? Sok-sokan pake bilang izin acara keluarga, padahal mendem di UKS. Itu guru pada ngealpha-in kamu, kasian nanti di rapot jadi jelek ada alphanya." Datar, jawaban Celia, pura-pura tidak perduli dengannya, pasalnya mereka hanya sebatas teman sekelas, teman kerja kelompok, tak lebih.

"Ya maafin aku, gamau keliatan sakit, malah ketauan kan diuks." Jawabnnya dengan senyuman yang dipaksakan, bibir pucatnya mengulas sebuah senyuman, aneh.

Ya kenapa mesti boong, kalau gamau keliatan sakit ya ga gini juga caranya, gue panik pas badanlo panas.

"Bisa jalan kan? Yuk ke kelas, guru nanti ngabsen kamu, surat izin aku cari dulu. Tunggu sini." Celia berjalan menuju meja obat, namun tangan Devon menggengam baju seragam Celia, ia berhenti, membalikkan badannya, maksud untuk melihat Devon.

"Sini bentar, aku mau ngomong" Devon mendudukkan posisi badannya, mencari tempat yang nyaman, kemudian Celia berdiri sampingnya.

"Duduk sini" tangannya menepuk-nepuk kasur yang diduduki Celia tadi. Celia menurut.

"Ini bukan salah kamu, aku kemarin ga langsung pulang, aku mau beli makanan ringan, Descha sama Dergy nitip, aku ke sevel, terus hujan. Kamu tiba-tiba ngesms-in aku, udah sampe rumah belum, pas banget hujan gede, aku bales aja iya biar cepet. Biar kamu ga khawatir banget." Selak Devon, mata sayunya pelan-pelan mengedip lemah.

"Ya kalo gitu mending langsung pulang, Udah tau pas nyampe rumah aku udah geledek banyak banget. Lagian kamu sakit yang ribet siapa? Satu kelas? Orang tua kamu lah. Harus bawa kamu kerumah sakit, ngantri panjang lebar, kadang dokter asal meriksa aja, terus obatnya mahal. Duh, yu cepet kekelas, guru kayaknya udah dateng" Celia mengelak, tak mengindahkan perkataan Devon, seraya menggenggam seragam Devon, maksud untuk turun dari kasur.

RĂBDARE  [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang