IV

53 8 0
                                    

Sudah jam 7 malam, Celia menunggu Devon untuk dijemput karna pasalnya Andin dan Miftah tidak bisa ikut kerja kelompok dikarenakan mengurus keperluan osis untuk 2 hari mendatang, dan akhirnya Devon mengajak Celia mengerjakan ekonomi kafe dekat sekolah,

Jam 5.00

' Cel, maafin yah aku gabisa ngerjain eknomi dirumahku, tadi ketos manggil suruh nyiapin baksos buat lusa, Miftah juga jadi penanggung jawabnya nih, jadi kita berdua gabisa ikut, maaf yaa '

' Oh iya gapapa kok, nanti aku bilang ke Devon gajadi dirumah kamu, yaudah ati-ati ya, jangan sampe kecapean kamu sama Miftah '

Send.

"Duh gimana ini masa berdua doang sama Devon, kan nanti jadi awkward gitu, ah elahhhhhh" Celia merutuki dirinya sendiri, menendang-nendang kakinya ke udara, menjambak rambutnya, serta menghentakan badannya ke kasur.

"Nasib deh gue SMS Devon, bales cepet gak ya dia."

5.15

' Gef, Miftah sama Andin ada urusan baksos lusaa. Jadinya gimana? Mau dirumahku aja? tapi dari rumah kamu kejauhan, deket sekolah aja apa? Sekalian juga bantu anak osis kalo kurang tenaga? '

Send.

"Eh anjir cepett banget di read anjir anjirr." Belum lebih 1 menit, Devon sudah membaca text dari Celia,

' Yaudah di kafe Altergo, jam 6.15 aku bisanya, sekalian aku jemput kamu aja, udah mau sore juga ini mendung lagi. Jam 6.15 ya, gapake lama. '

Dih, nyuruh banget, tapi kenapa gue iyain sms dia? Anak siapa lu, asal main iya aja.

Setelah meng'iya'kan ajakan Devon, Celia bergegas cepat untuk mengumpulkan tugas-tugas ekonomi kelompoknya.

Tepat 15 menit Celia menunggu Devon di teras depan, Devon datang dengan menggunakan jaket kulit hitam, sepatu kets biru tua dilapisi bahan berwarna emas bergaris, serta motor sport yang ia tumpangi. Mata Celia terpanah ketika Devon membuka helmnya, dan menunjukkan kacamata bulat pipih yang bertengger dimatanya. Cool, namun masih terlihat kutu buku. Itu yang dibenak pikiran Celia, belum pernah ia bertemu orang seperti Devon, yang benar-benar menjadi tipe Celia seorang. Ia menatap Devon dari atas hingga bawah, tanpa melewati sedikit detail pun.

"Ayok, mau hujan ini, cepetan, pake nih helm," Devon turun dari motornya, memberi helm yang diambil dari atas tangki bensin, helm berwarna hitam kelam. Dia menghampiri Celia yang masih terdiam beku di depan teras, Devon melangkah dan memakaikan Celia helm itu, kemudian ia pergi meninggalkan Celia di depan.

"Permisi, tantee.." Suara khas Devon menyadarkan Celia, ia terkejut, Devon masuk kedalam rumah Celia

"EH-EH VON, NGAPAIN???!!!" Celia melepas kembali helm yang dipakaikan Devon, mengambil langkah yang besar, melihat Devon sedang mengobrol dengan mamanya. Sedikit demi sedikit suara Devon terdengar, ia menguping dari belakang jendela teras.

"Tante, Ini Devon, temennya Celia, Devon minjem Celia sampai jam 9 ya tante mau kerja kelompok, di kafe deket sekolah, ga begitu jauh tante dari sini, tante izinin kan? Devon bakal jaga Celia kok, ini juga mendadak, tadinya mau di rumah Andin, tapi ketua osis manggil Andin sama Miftah buat beresin baksos, kalo sekolah udah tutup, Devon sama Celia kerja kelompok di kafe, kalo sekolah buka, Devon kerja kelompok disitu, sekalian bantu-bantu osis." Devon sengaja berbicara seperti ini, pasalnya tante Galani (mama Celia) adalah orang yang overprotective dengan anaknya semenjak kak Egar menghilang.

Jujur banget, ternyata sifat asli devon kayak gini. Hati Celia terhangatkan dengan kata-katanya. ini pertamakalinya ada laki-laki yang minta izin keorang tua Celia tanpa disuruh Celia sendiri, kemauan laki-laki sendiri, inisiatif laki-laki itu. Devon.

"Ah Devon, iya nak, jaga Acel baik-baik ya, hati-hati dijalan, jangan ngebut-ngebut, inget orang tua ya, yaudah, keburu hujan dijalan" mata sipit mama Celia menandakan kalau Devon boleh minjam Celia beberapa waktu.

"Iya tante, makasih, oh sama Devon minta nomor hape tante sama nomor rumah, takutnya jam 9 hujan, biar Devon gampang ngasih kabar ke tante," Hati Celia terunyak, di dalam lubuk hati terpancar sebuah kehangatan, kehangatan yang sudah lama Celia dambakan, laki-laki yang benar-benar ingin menjaga seorang wanita yang diperlakukan seperti ibunya sendiri. Tubuh Celia bergetar, dengan mengingat-ingat perkataan Devon tadi.

Sama halnya dengan Celia, mama Celia juga tertegun, belum ada seorang laki-laki teman anaknya yang meminta nomor ponselnya dan nomor rumah ini, tanpa ia kasih, satu kata yang terpikirkan mama Celia adalah Devon anak yang baik, sangat baik, terlihat sudah dari penampilannya yang rapih serta kacamata bulat pipih yang menandakan bahwa Devon adalah anak yang rajin, cerdas, serta jujur.

"Ah ini sebentar ya Devon,"mama Celia mencari kartu nomor rumah dan ponsel yang dapat dihubungi jika terjadi sesuatu, ia sangat waspada dengan semuanya, sudah sejak lama ia membuat kartu itu, namun hanya sedikit orang yang dikasihnya.

Devon membalikkan badannya, melihat Celia menguping percakapan dengan mamanya, terlihat jelas dari gordyn yang transparan, seulas senyum yang terukir dibibirnya, hatinya tersenyum, jantungnya bedetak cepat dari sebelumnya, belum ada wanita didalam hatinya yang dapat membuat jantung Devon bekerja dua kali lebih cepat, terkecuali ibunya dan adik perempuan semata wayangnya. Mama Celia kembali setelah mengambil kartu dari bilik dekat ruang tv,

"Ini Devon, hati hati ya dijalan, suruh pegangan di pundak ya," Mama Celia selalu seperti ini, ia tak ingin anaknya menyetuh laki-laki seperti anak jaman sekarang, Devon sudah mengerti dengan apa yang dimaksud, ia kemudian berterima kasih dan keluar menuju Celia berada. Mendengar dentuman sepatu yang menginjak dinginnya lantai, Celia buru-buru membenarkan posisinya dan tegap memegang helm yang diberi Devon.

"kok helmnya dilepas? Kan udah aku pasangin tadi?" Pura-pura tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Devon hanya mengucap itu dengan polos

"Iya ngeliat kamu masuk kerumah aku, kan aku jadi kaget, yaudah aku lepas aja." Jujur dengan apa yang ia katakan, Devon mengambil helm dari tangan Celia dan memasangnya kembali

"Mangkanya kalo diajak ngomong jangan bengong aja" Harum Devon memang memabukkan pikiran Celia, iya hanya tersenyum akan mulut Devon yang berbicara ia tak memperdulikan keaadaan sekarang , tangannya yang membawa sebuah map besar dan gulungan kertas karton putih besar tiba-tiba terasa ringan akan hilang, ia tersadar lagi, melihat devon memegang barang itu dan tanpa sebuah jaket menyelimutinya,

"Nih make jaket aku dulu, ribet juga kalo ngambil di bagasi, angin-angin malem gabagus, ini juga angin mau hujan. Ayo cepet keburu ujan deres dijalan." Devon berjalan kearah motor, menaikinya dan menyalakan mesinnya, seraya Celia membenarkan helmnya dan menuju kearah motor Devon, menginjak pijakan, dan duduk di belakang Devon, tangannya terulur kebelakang pegangan motor, sudah berkali-kali dia seperti ini semenjak kelas 8 smp.

"Tangan megang pundak, tante Galani yang bilang." Devon melihat gelagat tangan Celia yang menuju bahu Devon, ia tersenyum, kemudian melaju ke kafe.

RĂBDARE  [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang