Devon membuka suara, setelah menelan nasi bersama soto yang berwarna merah padam itu.
"Jadi, kamu tidur bukan maag?" Celia dengan cepat menggeleng.
"Aku kurang fokus hari-hari ini, cuman sedikit capek, dan suntuk kayaknya." Kemudian Celia menelan juga soto berwarna bening itu.
"Ah, efek uas? Aku juga mulai bosen belajar. Entah pikiranku sekarang kemana, tadi aja guru ngajar aku ga dengerin sama sekali, cuman natap hape diam-diam dan yup, kabur ke uks."
"Dan bawa obat maag?" celetuk Celia. Devon hanya tersenyum, "buatmu tadinya, ternyata kamu ga sakit, yasudah aku simpen aja, siapa tau aku butuh untuk kedepannya" gelakan tawa mereka pecah, untungnya kantin sepi, dan hanya penjual dan ibu kantin yang berada disana.
"Jadi, itu buat aku? Dan kamu kira aku sakit? Baik sekali kamu" Celia sengaja menggoda dengan kata-kata bakunya barusan. Aneh memang dia itu.
"Yang seperti kamu lihat sekarang. Obat maag khusus Celia seorang, ternyata jelas-jelas tidak sakit dan hanya berdiam bak putri di uks" dan dia membalas ke-bakuan ucapan Celia tadi.
Dan gelak tawa mereka menghiasi kantin siang hari.
Banyak mata memandang ketika Celia dan Devon masuk kelas secara bersamaan, termasuk guru yang sedang mengajar. Dan semua ber'dehem'ria seolah seluruh kelas terkena batuk. Dan tidak usah bertanya tentang teman Celia, terutama Gladis dan Ara yang sudah tidak bisa menahan tawanya.
"Jadi, berkah masuk uks bisa berduaan sama Devon? Atau Devon yang sengaja berduaan dengan putri dari Negara lily ini?" ledek Gladis. Celia tidak mau memperpanjang keadaan yang dapat membuat dirinya malu setengah mati.
"Aku setuju dengan kedua pilihan itu," kemudian mereka terlarut dalam pelajaran.
Siang setelah sekolah selesai, seperti biasa, Celia menunggu mas Ageng di depan sekolah, dan Gladis yang menunggu teman lainnya untuk pulang bersama, Zara yang ada les piano, Ara dan Alia yang sudah pulang duluan. Celia berdiri didekat kursi jaga dan mendengarkan alunan musik dari earphone-nya itu.
"Belum pulang neng?" Kata satpam yang sedang lewat dan mendudukan dirinya di kursi jaga itu. Terpampang nametag si bapak itu yang tertulis 'Iyadin'
"belum pak, nunggu dijemput" dan ditanggapi dengan anggukan dari bapak Iyadin itu. Tak lama kemudian, Mas Ageng datang dengan mobil berwarna hitam mengkilat. Tumben sekali dia membawa mobil itu. Pasti ayah pulang cepet. Batin Celia.
"Mas, ayah pulang cepet? Tumben banget." Celia duduk disamping kemudi itu, dia tidak mau dibelakang, dikarenakan tidak sopan baginya jika Mas Ageng yang menyetir. Mas Ageng sudah dianggap sebagai kakak bagi Celia, terlihat dari cara berbicara, mereka sudah mengenal satu sama lain bertahun-tahun.
"Iya bapak pulang cepet, katanya ada acara seminar diluar negeri. Seperti biasa." Mas Ageng tetap fokus pada jalan ketika Celia bertanya tentang ayah yang sudah dirumah.
"Malaysia?" tanya Celia sambil melihat-lihat samping jalanan yang sudah ramai.
"Nope, Hongkong." Jangan meremehkan bahasa asing Mas Ageng ini, walaupun logatnya masih terdengar jelas, namun Mas Ageng ini anak pintar disekolahnya dulu hingga sekarang ia berkuliah. Berkat kepintarannya dan kerajinannya, ayah mau membantu dengan lapang dada untuk membayar uang masuk kuliah Mas Ageng, namun dengan satu syarat, dapat menyeimbangkan waktu dengan urusan rumah dan kuliahnya.
"Tumben, ayah mau ikut yang jauh-jauh," cerocos Celia yang sekarang sedang menatap kearah Mas Ageng.
"Entah cel, coba kamu nanya ayah sendiri. Masa Mas Ageng yang nanya, kan gasopan, hehehe" Jawab Mas Ageng yang hanya diangguki oleh Celia.
KAMU SEDANG MEMBACA
RĂBDARE [Slow Update]
Teen FictionGimana rasanya ditinggal selama 6 tahun tanpa kabar? [SEBAGIAN CERITA ADA YANG DIPRIVATE] "Kalo jalan tali sepatu ga ke iket, bisa jatoh kamu, nanti kalo jatoh siapa yang nolong?" -Devon "Bisa jalan kan? Yuk kekelas, guru nanti ngabsen kamu, surat i...