Satu teori tentang payung. Yang Naline tahu, payung itu tempat berlindung. Tempat dimana orang akan terjaga dari teriknya panas, basahnya hujan, kuatnya badai, dan yang lainnya. Payung juga sesuatu yang digunakan untuk menampung rasa rindu. Yang Naline tahu juga, setiap tetes rintik hujan yang turun hari itu, adalah wujud dari sebesar apa rindu itu ada. Lalu payung akan menjadi wadahnya.
Dari situlah Naline menyadari satu hal. Bahwa dia merindukan Jooheon. Baru tiga hari yang lalu memang mereka bersua. Jooheon yang mengajak Naline untuk makan bersama dan membuat candaan hangat bersama. Tapi kesibukannya dan segala tetek bengek seputar tugas sungguh merenggut memori manisnya bersama Jooheon kala itu. Ia lupa bagaimana rasanya berjalan berdampingan. Lupa bagaimana Jooheon menawarkan sederet menu menggiurkan. Ia bahkan tidak ingat lagi bagaimana debaran jantungnya bereaksi ketika Jooheon mengatakan bahwa dia akan menciumnya jika dia masih saja mengatakan omong kosong.
Naline malu sekali waktu itu. Benar memang jika dia pernah berdelusi tentang segala sesuatu bersama Jooheon. Dia tahu benar Jooheon itu teman dekat kakaknya, namun hubungan mereka yang bisa dikatakan sangat akrab, membuat otak Naline tanpa malu-malu berpikir jauh tentang apa-apa saja yang ingin Jooheon lakukan padanya.
Tak tahu juga mengapa Naline menuliskan nama Jooheon dengan gamblang. Bahkan gadis bersurai hitam kecoklatan itu ingat persis bagaimana sudut bibirnya terangkat setiap bayangannya mulai melambung dan seolah-olah nyata. Naline sungguh masih merutuki dirinya yang dengan sembarangan meletakkan buku itu di meja sampai Jooheon menemukannya.
Dari situlah lalu Naline saat ini merindukan Jooheon. Ia sudah jarang menghubungi lelaki itu meski via telepon dengan basa-basi menghiburnya dengan aegyo nya. Jooheon memang dengan senang hati akan membantu. Tapi Naline tahu diri. Jooheon bukanlah kakaknya yang 'akan' selalu ada untuknya. Ia pasti punya kesibukan sendiri. Menuruti permintaan Naline bukankah sesuatu yang berlebihan? Jadi meski berat, sebisa mungkin Naline menghibur dirinya sendiri.
Sama seperti sekarang. Ia melangkahkan tungkainya sembari rintik hujan yang terus memukul kepala Naline. Tidak deras memang, masih bisa dikategorikan gerimis yang kata ibunya, itu cukup membuat kepalamu jadi pusing. Sekali ini saja Naline tak menghiraukan perkataan ibunya dan memilih untuk membiarkan air hujan itu membasahi badannya. Mungkin saja itu bisa melunturkan mood nya yang buruk. Tak ada salahnya mencoba.
Tapi air hujan itu turun seakan-akan memberi gambaran tentang ukuran rindunya pada Jooheon. Semakin ia rindu, semakin air itu menghujam kepalanya. Semakin ia memikirkan Jooheon, tingkat moodnya pun menurun. Agaknya itu membuat Naline sediki sebal sebab semuanya jadi terdengar menyedihkan.
Lantas ia rubah jalan pikirannya. Ketika setetes air menghujam kepalanya untuk yang ke sekian kali, ia berdoa dalam hatinya agar Jooheon datang. Ya, ia pernah dengar juga seputar hujan yang membawa sejuta kebaikan. Bahkan jika berdoa saat itu, maka apa yang diinginkan akan benar terjadi. Sepanjang dia berjalan ke rumahnya, ia terus mendoakan Jooheon agar ia baik-baik saja, sampai berharap bahwa mereka akan bertemu.
Gadis itu melangkah dengan batinnya yang berbicara sembari menutup matanya. Ia yakin jalanan sudah sepi dan ia tahu betul dimana posisi rumhanya. Yang ia yakini, jarak rumahnya masih sangat jauh. Entah bagaimana. kepalanya tak merasakan basah lagi. Tapi ia masih mendengar suara rintik hujan itu turun. Naline berniat memastikan suasana yang ada. begitu perlahan matanya terbuka...
Jooheon sudah ada di sampingnya. Berjalan beriringan dengannya sembari membawa payung untuk melindungi dia dan Jooheon dari hujan yang semakin deras. Naline tentu terkejut. Maniknya membulat, seakan-akan tak percaya bahwa dia memang bertemu dengan lelaki yang dirindukannya.
"Kau ini bandel atau bagaimana sih? Sudah tahu hujan, masih saja pulang."
"Jika menunggu hujan reda, mana bisa aku pulang. Langitnya putih sekali, hujannya pasti awet."