Retta turun dari halte bus sendirian. Ketiga teman nya sudah turun duluan. Rumah Retta yang paling jauh diantara mereka.
Retta menendang kerikil di depan nya. Dia masih bingung dengan yang diceritakan Fira. Singkat nya Fabian itu tidak seperti yang dia lihat. Dia sudah jelas orang yang sangat berbahaya. Bagaimana mungkin waktu itu seorang anak kelas X jadi penguasa sekolah? Bagaimana mungkin dia bisa menghabisi Geng penguasa kelas dua belas sendirian? Semua itu sulit dipercaya.
Siapa sebenar nya Fabian? Tapi kenapa Retta merasa dia tidak jahat? Atau ia terlalu cepat mengambil keputusan?
Retta mengacak rambut nya frustasi. Kalau terus begini lama-lama ia bisa gila. Semua pertanyaan itu membuat nya pusing. Dia menggelengkan kepala kuat-kuat. Untuk apa memikirkan semua itu? Lagi pula apa peduli nya? Toh dia bukan siapa-siapa Fabian.
Retta memegang pelipis nya yang berdenyut. Mengenyahkan semua pikiran tentang Fabian. Lebih baik dia memikirkan hal yang lebih penting. Seperti klub ekskul mana yang akan ia pilih atau Desain cafe yang bagus untuk Ibu nya.
•••
Suasana kelas XI IPA 2 sudah seperti pasar. Bahkan mungkin lebih seperti kebun binatang. Tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Hari ini Naifah tak sekolah. Fira dan Nawal ada rapat Osis. Sedangkan Retta hanya merebahkan kepalanya bosan sambil mendengar lagu. Walaupun dia sudah berbaur dengan teman-teman barunya tapi tetap saja canggung untuk bergabung kalau tak diajak.
Retta menopang kepalanya di tangan sambil menatap jendela disebelahnya. Disini hanya akan membuat nya suntuk. Lebih baik ke tempat yang tenang saja. Gadis itu melangkah keluar sambil membawa sketchbook dan kotak pensil miliknya. Siapa tahu ada inspirasi cerita yang didapat nya.
Gadis itu suka menggambar. Tapi yang paling ia sukai adalah typography. Retta melangkah di koridor yang sepi. Hanya beberapa orang yang berdiri di tepi koridor. Selebihnya sibuk dengam kegiatan masing-masing.
Retta terus berjalan ke ujung koridor lantai 2.Disana ada ruangan tak terpakai, Ia menemukan tangga yang sepertinya mengarah ke atap gedung sekolah nya. Gadis itu menaiki tangga itu satu persatu. Lalu duduk di ujung bangunan sambil menurunkan kaki nya. Angin berhembus kencang. Membuat anak rambut gadis yang dikucir itu bertebangan.
Langit begitu cerah nya. Retta tersenyum kecil. Dulu waktu kecil dia suka memandangi langit bersama Ibu dan Ayahnya. Terlebih langit senja. Dia ingat saat dia berlarian di pantai dikejar ayahnya. Seperti baru kemarin ia dikejar ayahnya. Dadanya sesak. Sesak yang menyakitkan.
Retta tersenyum muram. Lalu menutup matanya. Membiarkan angin lembut menyapa wajahnya. Dan berharap angin membawa kesedihan nya. Dia tak bisa menangis. Ya, tak bisa, Hingga dia lupa kapan terakhir kali dia menangis.
"Rani!! Kau tak mengerti!" teriak ayah nya frustasi.
"Hentikan Rani nanti Retta mendengarnya!"
"Apa yang harus kumengerti mas Haris? Kau bahkan tak mengerti sedikitpun! Baiklah kau tak ingin hidup lagi bersama ku dan Retta bukan? Baiklah, aku akan pergi!"
"Sudah kukatakan HENTIKAN!" ayah nya melempar sebuah vas bunga kaca.
"Cukup mas! CUKUP!!"
Retta yang masih 10 tahun meringkuk dibawah tempat tidur menangis sesegukan. Terbangun ditengah malam karena pertengkaran orangtuanya. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Tak ingin ayah dan ibu nya mendengarnya menangis. Dia sudah cukup besar untuk mengerti ayah dan ibu nya memang kurang baik beberapa hari ini tapi dia tak tau mereka akan bertengkar sehebat ini. Dan setelah itu Ayah dan Ibu nya bercerai. Hak asuh Retta di dapat oleh Ibu nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...