32

27 0 0
                                    

Retta menatap langit - langit kamarnya. Berpikir kembali mengingat masa lalu. Keadaan kadang memang tak berjalan lancar seperti yang ia inginkan. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Besok setelah pulang sekolah ia akan menemui Ayahnya kembali dengan kakak tiri nya.

Retta membalikan badan ke sisi kiri. Berusaha untuk tidur karena sudah terlalu lelah untuk hari ini.

•••

Fabian memarkirkan mobil hitam miliknya di garasi dan melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Laki - laki itu langsung menuju tangga lantai dua yang dekat dengan ruang makan di sampingnya. Tak disangka suasana terlihat ramai di meja makan. Laki - laki itu hanya menipiskan bibir dan berjalan pelan menaiki tangga menuju kamarnya.

"Fabian.. udah makan? Mau makan dulu nggak? Tante masak banyak soalnya." Ujar Aira canggung, pasalnya ia sangat jarang berbicara dengan Fabian atau mungkin anak itu yang tak pernah berbicara dengannya.

Fabian terdiam, berhenti melangkah. Laki - laki itu menatap satu persatu orang di meja makan yang balik menatapnya. Pemuda itu perlahan hanya bergumam dan mengangguk lalu melangkah agak terseok ke meja makan bak orang linglung. Rasanya ia tak pernah membayangkan akan makan bersama dengan Papa nya kembali seperti dulu. Selama ini ia lebih suka menghabiskan waktu di luar sekedar main, hang out dengan berbagai macam temannya. Ia tak pernah tau apa itu arti keluarga yang sesungguhnya saat itu. Ia terlalu lelah dengan waktu yang tiap saat membunuhnya perlahan dengan kebencian berlipat atas kenyataan yang ada.

Tapi, kini entahlah. Ia memilih mendengar hati nya dan melangkah bergabung ke meja ini. Sambil berpikir, apa mungkin ia dapat mengerti kembali definisi keluarga?

Arya hanya berdeham dan kembali mengobrol dengan Frea menanyakan tentang sekolah. Sedang Aira sibuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Fabian sambil menyembunyikan perasaan harunya. Tangannya agak gemetar dan ia menyerahkan dengan cepat makanan pada Fabian sambil tersenyum senang.

Berharap dalam hatinya. Anak yang selalu membangun tembok dingin di hadapannya mau menerima nya sebagai Ibu tirinya.

Fabian menerima makanan itu dan makan dalam diam. Sedikit merasa sesak. Mengingat Ibu nya dan Farah. Fabian menghabiskan makanan nya dengan cepat. Hingga akhirnya ia pamit berdiri dan kembali ke kamarnya.

Laki-laki itu merebahkan badan ke kasurnya. Sambil mengenang tahun-tahun lalu hidupnya. Melihat Retta dan masalah nya membuat Fabian juga menyadari satu hal.

Bahwa ia juga tidak terluka sendirian. Masih ada yang lain seperti dirinya bahkan lebih menderita di banding dirinya.

Fabian menyeka sudut matanya yang basah dan memejamkan mata. Berharap malam cepat berlalu digantikan sinar mentari yang menghangatkan.

•••

Retta melangkah menuju gerbang sekolah mengambil napas dalam. Koridor di penuhi seluruh siswa. Sibuk mencari namanya di papan pengumuman sekolah. Ada yang beragam macam reaksi orang. Ada yang bersorak bahagia, ada yang tersenyum saja, ada yang hanya melihat sekilas dan cuek saja ataupun ada yang merasa sedih dan kecewa.

Retta larut dalam pikirannya memandangi sekitar dalam diam. Tak sadar bahwa Fabian sudah berdiri di sebelahnya sambil menatap gadis itu datar.

"Jadi ini tujuan lo datang cepat? Mau liatin pemandangan hari pertama masuk sekolah?" Ucap Fabian sarkas membuat Retta sedikit terlonjak.

The Rain is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang