Aku nggak mau bangun..
Aku tidak ingin menerima rasa sakit lagi.
Retta merasakan cahaya lampu yang putih memasuki indra penglihatannya yang memburam. Gadis itu perlahan mengerjap dan melihat wajah Ibu dan Ayahnya yang menatapnya. Terlihat kedua mengucap syukur beberapa kali.
Gadis itu mengernyit merasakan mata nya yang basah. Perlahan menggerakan jari nya yang terasa sedikit sakit dan menyeka air mata yang sudah membasahi telinga dan bantalnya. Setelahnya gadis itu diperiksa oleh dokter dan mengatakan Retta baik - baik saja.
Gadis itu hanya diam semenjak terbangun. Bersandar duduk pada bantal yang di tinggikan sambil menunduk menatap selang infus dan kuku jari tangannya. Sesekali menatap ke jendela. Ke mana pun asal bukan ke arah Ayah dan Ibu nya yang juga bungkam dan sesekali meliriknya.
"Kamu udah nggak sadar selama empat hari. Kata dokter udah bisa pulang besok." Ucap Ibu nya lalu bangkit mulai membereskan beberapa pakaian Retta dan barang lainnya.
"Kata dokter juga, kondisi kamu baik baik aja, kamu nggak sadarkan diri karena kelelahan dan stres." Ucap Ibu nya melipat baju Retta ke dalam tas.
Gadis itu masih diam dan mendengarkan. Memilih menatap ke jendela samping yang memperlihatkan langit malam. Rani yang melihat itu hanya bisa menghela napas pelan. Retta masih sibuk dengan dunia nya sendiri.
"Ayah minta maaf.." Lirih Haris menatap Retta yang kini merunduk memainkan kuku jari nya.
Gadis itu mengangkat kepala. Masih dengan wajah dinginnya. "Retta mau pulang, mau istirahat." Ucapnya lalu membaringkan tubuh kembali. Menutup mata dan berusaha menutup telinga. Kali ini saja mungkin ia ingin egois untuk tidak mendengarkan. Ia lelah mendengar semuanya, saat tak ada yang mendengar keluh kesah yang tak tau bagaimana akan ia utarakan. Ia hanya lelah dengan dirinya sendiri dan semua ini.
Melihat Retta yang meringkuk ke sisi dinding membuat Haris dan Rani hanya menipiskan bibir.
"Sebaiknya mas pulang saja, Retta memang masih butuh istirahat." Ujar Rani menaikan selimut Retta.
Haris hanya menghela napas panjang dan pamit pergi dari ruangan rawat Retta. Gadis itu memejamkan mata. Pura - pura tidak mendengar Ibu nya yang menyuruhnya makan ataupun Ayah nya yang berpamitan.
Gadis itu membuka mata perlahan. Melongok kecil melihat Ibu nya yang tidur berbaring di kasur sebelah. Gadis itu menghela napas kecil. Teringat tadi siang ia malah bermimpi tentang Fabian. Pandangannya terasa buram. Bagaimana selanjutnya?
Disatu sisi dia ingin mendengarkan kebenaran dari Ayahnya tapi, di sisi lain ia tak mau tau dan tak mau mendengar apapun yang akan menyakitinya. Ia sudah terlalu lelah memahami semua yang terjadi.
•••
"Gimana, masih pusing?" Tanya Rani melihat wajah pucat Retta yang terbaring lemah.
Gadis itu menggeleng perlahan. Kini berbaring di kasur kamarnya dan memejamkan mata. Baru saja pulang dari rumah sakit namun, diperjalanan ia merasa pusing dan lelah. Gadis itu masih tak banyak bicara dan membaringkan badan nya ke kasur.
"Nanti.. ayah kamu mau ketemu. Ada yang perlu dijelaskan." Ucap Rani menyelimuti Retta yang telah memejamkan mata dan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...