"Lo nggak kedinginan apa?" Tanya laki - laki itu menatap Retta yang masih terlihat seperti mayat hidup.
Fabian membukakan pintu mobil dan menyuruh Retta masuk ke dalam nya. Setelah Fabian masuk ke dalam mobil Retta menatapnya masih dengan pandangan kosong.
"Kenapa lo ngilang kayak gini? Semua nyariin lo." Ucapnya.
"Gue nggak mau pulang." Ucapnya pelan kemudian menyandarkan kepala ke jok mobil menatap ke depan lagi.
Fabian menghela napas berat. Dada nya terasa sakit melihat kondisi Retta yang seperti ini.
"Lo kenapa? Apa yang salah?" Ujar laki - laki itu bersuara.
Retta yang sejak tadi hanya bungkam menatap Fabian yang masih diam menatapnya menunggu jawaban. Untuk sesaat entah kenapa rasanya Retta ingin meluapkan perasaan. Dadanya semakin sesak dengan pandangan mengabur.
"Gue nggak papa." Ujarnya lalu mengalihkan pandangan ke depan.
"Setidaknya lo bisa berbagi beban dan nggak memendam sendirian." Ujar Fabian.
"Jangan terlalu menekan diri sendiri. Lo juga punya hati." Lirihnya menatap lurus ke depan.
Retta mendengus "Tapi, buat apa? Jadi lemah di depan orang lain? Toh.. bukan gue aja yang terluka. Gue juga nggak mau egois dan jadi lemah."
"Bukan nya sekarang ini elo bersikap egois dengan menekan dan membohongi perasaan sendiri?"
Retta menatap nyalang Fabian tersulut begitu saja. "Iya benar, gue egois! Memangnya apa alasan gue harus cerita sama lo?! LO TAU APA HA? LO NGGAK TAU APA - APA TENTANG GUE?!" Suara Retta meninggi penuh amarah.
Kemudian gadis itu terdiam sambil memejamkan mata. Mengambil napas dalam menenangkan diri dan memegang kepalanya yang berdenyut.
"Ma-maaf, gue nggak maksud melampiaskan nya ke elo.." Lirihnya masih terpejam menyandarkan kepala ke sandaran jok mobil. Retta mengangkat sebelah tangan dan menutup kedua mata dengan punggung tangan.
Setetes air mata mencelos turun. Membuatnya menangis tanpa suara. Mengeluarkan semua sakit yang ditahannya. Lama - lama tangis itu berubah jadi isakan membuat kedua bahu gadis itu gemetar tertunduk. Retta menangis. Mengusap kedua matanya dengan tangan.
Tangisan pilu yang selalu ia tahan.
Tangisan yang ia benci dan lama kelamaan membuat nya terbiasa tidak menangis dan hanya merasa sesak.
Fabian menengadahkan kepala menatap ke langit - langit mobil. Menahan laju air mata yang ikut jatuh namun, tak berhasil. Tangannya yang sudah terangkat ingin memberi tepukan di punggung terhenti di udara begitu saja. Fabian mengepalkan tangan kuat dan kembali menurunkan tangannya.
Ia mengulurkan tissu pada gadis itu. Retta mengambilnya masih dengan isakan tertahan dan pundak bergetar. Fabian membiarkan gadis itu menangis agar tenang.
Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari kantong nya dan menelpon Fira mengabari teman - teman nya dan Ibu Retta.
•••
Pemuda itu turun dari mobil hitam nya setelah menyelimuti Retta yang menangis sampai tertidur dengan jaket. Laki - laki itu berjalan memasuki minimarket sekitar sana. Hujan sudah reda. Fabian membeli minuman dan makanan ringan.
Fabian mengeluarkan ponsel dan menghubungi Fira. Yang langsung di jawab dengan pertanyaan. Fabian menjelaskan bahwa Retta sudah bersamanya."Alhamdulillah... Lo dimana sekarang?" Tanya Fira di telpon.
"Gue deket taman bungkul. Di minimarket. Retta basah kuyup, sekarang dia lagi tidur." Tukas Fabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...