25

37 5 2
                                    

Setelah beberapa minggu persiapan ujian akhir kenaikan kelas itu pun datang. Selama beberapa minggu itu pula Retta sibuk membantu Fabian belajar terutama pelajaran yang tidak disukainya dan syukur semua berjalan dengan baik. Retta merasa senang saat tidak ada lagi teror dari Deandra maupun yang lain selama beberapa waktu ini.

Fabian yang duduk jarak dua meja darinya terlihat biasa saja. Tapi, Retta menangkap gelagat kegugupan. Pasalnya selama ujian Fabian akan datang paling lambat dan keluar paling cepat. Kadang hanya melihat kertas itu sekilas lantas mengisinya sebentar lalu keluar ruangan. Tapi, kini bahkan dia datang lebih dulu di banding Retta dan kini sudah duduk tenang di bangkunya sambil sesekali menggoyangkan kakinya.

Retta hanya tersenyum kecil. Ada kalanya laki - laki itu terlihat lucu. Padahal kalau soal berantem dan membuat onar dia yang nomor satu.

Ujian pun dimulai. Pembuktian dari usaha belajar masing - masing di mulai dari sini.

•••

Retta menatap papan pengumuman. Gadis itu hanya tersenyum kecil saat menemukan namanya ada di peringkat 12 di sekolah.

Nama Fabian Rafendra Ardhana pada peringkat 15 besar di satu angkatan sekolah. Retta tersenyum senang mengingat Fabian bisa meningkat. Tahun lalu kata Fira ia peringkat 300. Dengan belajar dadakan saja bisa membuatnya menyusul Retta.

Gadis itu menghela napas berat. Kehidupan macam apa yang telah di lewati anak pintar seperti Fabian hingga membuatnya menjadi seperti sekarang?

Tiba - tiba merasa sesak membuat Retta hanya menatap ke depan dengan nanar. Setiap orang memiliki masalah sendiri dan ia sedih kenapa ia terlalu sering mengeluh dan membenci semua. Padahal juga banyak orang yang punya masalah lebih berat darinya.

Retta melangkah pergi dari sana dengan pandangan tertunduk. Rasanya sesak saja, padahal ia tidak banyak mengetahui tentang Fabian namun, hatinya ikut perih mengingat semua ekspresi Fabian jika bercerita tentang keluarga.

Retta tersentak saat pergelangan tangannya di tarik sambil berlari. Retta berusaha melepaskan pegangan itu. Belum sempat ia bersuara orang yang menariknya menoleh ke belakang  sekilas dan menyuruhnya diam.

Retta menatap Fabian dengan pandangan terkejut kemudian menipiskan bibir, menatap punggung Fabian dengan tatapan sendu.

"Kenapa, lo tarik gue kesini?" Tanya Retta menatap Fabian yang tampak risau.

Kini mereka berada di taman belakang yang sepi. Fabian berjalan agak jauh dan berjongkok di rerumputan frustasi dan menunduk. Membuat Retta mengernyitkan kening bingung.

"Kenapa?" Retta ikutan berjongkok dari tempat ia berdiri.

"Papa gue ke sekolah hari ini, ditelpon Pak Ridwan. Gue baru dari ruangan Pak Ridwan. Rasanya.. apa Papa gue senang nggak ya gue dapat rangking 12?" Ucap Fabian masih menunduk.

Retta menipiskan bibir dan bangkit. Berjalan mendekati Fabian dan lantas mengulurkan tangannya.

"Ayo... Nggak papa, lo udah berjuang. Gue temenin."

Fabian mendongak menatap Retta yang tersenyum lembut. Membuatnya gugup dan kembali menunduk.

"Gue.. sejujurnya gue takut. Nanti Papa gue bukannya bangga tapi malah ngehujat gue lagi. Gue capek Retta.." Lirihnya menunduk. Kini mulai merasakan mata nya menghangat. Namun, Fabian menahannya.

Retta menghela napas berat. Bahkan sekarang laki - laki memanggil namanya dengan benar. Retta menatap Fabian dan meyakinkan semua akan baik baik saja. Walau ada rasa sesak juga melihat Fabian yang biasanya angkuh dan menyeramkan menjadi anak yang rapuh begini.

The Rain is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang