Fabian memasuki rumahnya yang seperti biasa terlihat sepi. Ia hanya melirik sekilas adik tiri nya yang duduk di sofa ruang tamu menonton televisi. Fabian masuk menaiki tangga menuju rumahnya.
"Kak.. kakak udah makan?" Tanya Frea adik tirinya membuat langkah Fabian terhenti.
Frea merunduk dan memainkan tangan. "Ta-tadi aku bi-bikin pasta macaroni.. tapi, kebanyakan buatnya. Bi Inah sama pak Tono tadi juga udah di aku kasih, tapi masih banyak.. takutnya nanti mubazir." Ujar gadis itu masih menunduk takut - takut.
"Kakak, mau nggak?"
Fabian diam saja. Baru kali ini adik tirinya itu berbicara dengan nya. Karena Fabian jarang dirumah dan tak pernah berbicara dengan Ibu dan adik tirinya. Fabian tetaplah Fabian, yang masih anak - anak dengan ego tinggi. Yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan akan Ayah nya menikah kembali.
"Papa sama tante Aira dimana?" Setelah diam cukup lama hanya kalimat itu yang bisa ia tanyakan.
"Pe-pergi kak, udah dua hari lalu." Frea mengangkat kepala sekilas melirik Fabian lalu kembali memainkan jari tangannya sambil menoleh ke bawah.
Fabian menghela napas panjang. Kemudian berdecak sebal. Cukup ia saja yang tidak di pedulikan dirumah ini. Kenapa gadis malang yang bahkan takut melihat dirinya ini juga di tinggal terus dirumah ini.
"Ya udah, gue mau ganti baju dulu. Nanti gue makan." Ucapnya lantas melanjutkan langkah menaiki tangga.
Frea mengangkat kepala dan mengerjap sebentar lalu segera berbalik mengambil pasta di dapur dan menyiapkan dua piring untuknya dan kakak nya. Gadis itu tersenyum senang. Meski tadi takut setengah mati tapi ternyata kakak tiri nya itu tidak membentaknya. Membuat gadis itu senang.
Fabian turun dari tangga dan melangkah menuju ruang tv karena, Frea menaruh piring dan minuman di meja ruang tamu bukan meja makan.
"Berarti udah tiga hari Papa belum pulang?" Tanya nya sebelum duduk di sofa.
Frea mengangguk dan mengangsurkan piring berisi pasta pada Fabian. Laki - laki itu hanya mengangguk sekilas dan memakannya.
Kalau begitu, berarti Papa dan Mama tiri nya langsung datang ke sekolah dari luar kota dan kembali lagi ke sana. Yang membuat Fabian berpikir apa ia cukup penting untuk menunda pekerjaan Ayahnya yang selalu sibuk. Mulai memikirkan kemungkinan yang dikatakan Retta.
"Gue bukan cenayang sih yang tau pikiran orang tua lo. Cuman.. yang pasti Papa lo pasti juga bangga sama lo. Percaya aja."
Fabian hanya menghela napas berat sambil mengunyah makanan nya.
"Eung.... nggak enak ya kak?" Tanya Frea.
Fabian tersadar dari lamunannya dan mengerjap perlahan. Lalu menggeleng. "Nggak papa, ini enak kok, gue cuma kepikiran sesuatu tadi."
Kemudian mereka melanjutkan makan dalam diam. Hanya suara televisi yang terdengar. Meski tidak ada yang bicara Frea setidaknya senang dengan suasana ini. Ia tidak sendirian lagi duduk disini.
"Lo sering di tinggal sendiri ya?" Tanya Fabian setelah menghabiskan minumnya.
Gadis itu mengangguk setelah mengunyah makanannya. "Kadang sampai seminggu, terus dua hari balik terus Mama sama Papa balik lagi." Ujarnya lalu menyuap makanannya lagi.
Fabian memandang sekilas adik tirinya yang sibuk dengan makanannya itu. Lagi - lagi menghela napas. Setelah lima tahun tinggal disini, gadis ini ternyata sangat kesepian.
"Terus lo tinggal sendiri aja di sini kalau mereka pergi?" Tanya nya lagi.
"Ada bi Inah, tapi.. nggak selalu sih paling sampai jam 11 malam terus bi Inah ke rumahnya yang di belakang. Ada Pak Tono juga tapi pak Tono jaga di depan. Kadang juga aku ajak temen nginap tapi ya nggak sering." Ucapnya setelah menyelesaikan makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...