4

309 23 2
                                    

"Balik darimana ta?" Fira menghampiri Retta yang baru sampai di depan pintu.

"Tadi ke atap. Udah selesai ya rapatnya?" Tanya Retta balik "Nawal mana?"

"Ke toilet katanya. Ngapain di atap sendirian?"

"Cari inspirasi."

"Ooh gitu, ke kantin yuk. Hari ini kita free soalnya guru-guru rapat yayasan palingan bentar lagi pulang."

"Kok banyak jam kosong sih ra?"

"Mungkin, karena tahun ajaran baru. Dan juga awal-awal sekolah kan. Pokoknya gitulah."

Retta mangut-mangut mengikuti langkah Fira ke kantin.

•••

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Fabian berhenti disebuah rumah mewah bercat coklat berarsitektur Victoria. Satpam nya sudah membuka kan pagar untuknya.

"Den Fabian kemana aja? Kok baru pulang? Bapak tadi nanyain aden." Tanya pak Tono satpamnya.

"Jadi, Papa ada dirumah? Tumben juga nanyain saya pak." jawabnya asal. Lalu memasukan motornya ke garasi.

Dia tak menyukai tempat ini sedikitpun. Tidak sejak beberapa tahun terakhir. Satu-satunya hal yang membuatnya ingin tinggal hanyalah kenangan indahnya dengan Ibunya dirumah ini.

Ia tak tau pantaskah tempat ini disebut rumah? Bukankah definisi rumah itu seharusnya tempat berteduh,berkumpulnya keluarga dan berbagi kehangatan satu sama lain. Bukankah seharusnya rumah itu tempat kita kembali saat kita merasa terpuruk?

Tapi, yang ada hanya kebencian. Ia tak pernah suka ada disana sejak Ibu nya tiada. Ayahnya, tempat itu sama saja. Tak ada kehangatan sama sekali. Entah dunia yang memang kejam atau ia yang terlalu sibuk membenci dan mengurung diri dalam lingkaran nya sehingga tak peduli dengan semua orang di tempat itu. Tempat yang dulu ia sayangi. Tempat ia dulu bahagia bersama Ibu nya. Fabian mendengus. Dan melengos masuk. Beruntungnya rumah itu sudah sepi. Jadi, ia tak perlu berdebat dengan Ayahnya.

Fabian masuk ke kamarnya, berganti pakaian dan merebahkan badan nya di kasur. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Entah apa yang dipikirkanya. Matanya tak mau terpejam meskipun ia lelah seharian ini pergi tanpa tau arah dan tujuan.

Ia hanya mencari cara untuk membunuh waktu. Waktu yang setiap hari terasa menyiksanya.

•••

Fabian terbangun saat sinar mentari menyusup masuk melalui celah kecil jendela kamar Fabian dan mengenai wajahnya. Fabian terbangun dengan kepala pusing. Karna ini hari minggu jadi dia bisa bersantai-santai.

Fabian mencari-cari ponselnya. Banyak chat yang masuk ke handphone nya. Ia menghapus semua tanpa membacanya. Fabian memasang earphone dan memutar lagu.

Pintu kamarnya terbuka. Arya Ayahnya masuk ke dalam kamar Fabian yang berantakan.

"Kemana saja kamu kemarin?" tanya Pria akhir 40-an itu.

"Tumben.. Biasanya kalau ngilang sampe berapa minggu juga nggak ada yang peduli." Jawabnya acuh tak acuh.

Fabian pura-pura menghiraukan Ayahnya dan malah asik bermain game.

"Setidaknya sebagai seorang Ayah saya harus peduli."

Fabian mendengus geli dan menatap tajam ayahnya "Apa peduli anda hah? Bahkan saat Mama pergi apa anda ada disini? Dan Farah yang malang apa anda peduli? Nggak kan??"

"Cukup Fabian. Apa kamu akan terus menyalahkan papa atas kematian mama mu?"

Fabian menatap ayahnya penuh kebencian. Sebenarnya dari apa terbuat hati ayahnya ini? Ia benar-benar tak mengerti.

"Oh begitu ya..? Anda bahkan tak memikirkan perasaan mama dan menikah lagi! Itu yang ada sebut peduli?!"

"CUKUP FABIAN!" teriak Arya dan menampar Fabian.

Fabian menyentuh pipi nya yang ditampar. Sudut bibir nya robek. Ia terkekeh pelan. Anak itu tidak menangis sama sekali. Dia malah tertawa geli.

"Dengan nampar saya semua nggak bakalan berubah.. Jadi nggak usah sok peduli toh saya juga nggak bakalan lama disini." Ujarnya dingin dan seraya bangkit dari posisi duduknya di kasur.

Setelah berkata begitu Fabian menyambar jacket dan mengenakan celana jeans panjang lalu meninggalkan ayahnya yang menatapnya tajam.

"Heh! FABIAN!!KEMANA KAMU?!!"

Fabian tetap melenggang santai. Melewati dua orang yang gelagapan berdiri didepan pintu. Karna ketahuan menguping.

Fabian menatap mereka dengan pandangan datar. Ibu dan Adik tirinya itu hanya menunduk malu. Fabian mendengus dan melengos pergi.

•••

Matahari begitu terik. Retta menyeka keringatnya dan berhenti sebentar meneguk air mineral. Ia baru habis pulang ekskul. Minggu adalah hari untuk ekskul di sekolahnya.

Akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada photografi dan mading. Karena, disekolahnya tak ada Desain grafis atau sejenisnya. Retta mencoba

Retta rasa tidak ada salahnya untuk berorganisasi. Walaupun dia masih sulit beradaptasi tapi dia ingin berbaur dan tak menyendiri.

Retta mengeluarkan sapu tangan dan mengelap keringatnya. Kegiatan nya langsung berhenti seketika saat melihat sebuah motor hitam berhenti tepat di depan nya.

"Fabian" Ucapnya tanpa sadar.

Yang hanya dibalas cengiran oleh Fabian. Dia menatap Retta dari atas sampai bawah.

Retta merasa risih ditatap seperti itu. Dia juga ikut memandangi badan nya. Mungkin saja ia salah memakai baju atau apapun. Tapi Retta tak menemukan keanehan apapun. Ia kembali menoleh pada pemuda itu dengan tatapan kesal.

"Ngapain liatin gue kayak gitu? Lo liatin apaan?! DASAR MESUM!"

Fabian menatap gadis itu datar. Gadis itu bodoh atau bagaimana?

"Mesum apaan? Orang gue cuma liat seragam lo.. Jadi lo budak tukang foto-foto sekolah ya."

Retta balik menatap anak laki-laki itu dengan wajah datar. Dia menyebalkan.

"Emangnya kenapa? Bukan urusan lo juga kan." Ujar gadis itu lalu melengos pergi.

"Kenapa sih tu anak sewot bener" gumam Fabian.

Kenapa Anak laki-laki itu selalu menganggunya. Padahal Nawal bilang dia tak suka dekat-dekat dengan wanita.

"Heh! Gue hitung sampai tiga kalau lo nggak balik sini awas aja! Satu... Dua... Ti.."

Retta langsung balik badan. Takut pentolan sekolah itu mengamuk. Dia menghela napas berat.

"Apaan? Sekarang lo mau ngomong apa sama gue?"

"Gue mau makan?"

"Ya udah makan sana. Apa hubungan nya sama gue?"

"Lo traktir gue"

"What? Kenapa gue?"

"Lo nggak mau ya?" Fabian menatap nya dingin menusuk.

"I-iya iya.." Jawab Retta menunduk pasrah.

"Ya udah ayo naik!"

Retta menatap pria itu sebentar lalu menaiki motor Fabian takut-takut. Fabian menghidupkan mesin motornya dan menggas motornya. Retta menggenggam pegangan belakang motor itu kuat-kuat sambil berdo'a keselamatan nya.

"Pegangan aja! Kalau lo nggak mau mati!" Ujar nya sambil menambah kecepatanya.

Retta reflek memegang pinggang anak laki-laki itu. Sejujurnya ia tak mengerti dengan laki-laki yang baru beberapa hari dikenalnya itu.

-The Rain is You-

***

Hai readers..

Lama tak jumpa!

Maaf ya kalau ada kesalahan dalam penulisan. Maklum deh baru belajar nulis :v

The Rain is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang