Retta menahan kantuk saat jam pelajaran. Rasanya pelajaran matematika sangat membosankan. Ditambah lagi mungkin ia lelah setelah kemarin pergi ke konser bersama teman-teman yang lain dan pulang agak larut. Alhasil ia harus bergadang hingga larut.
Gadis itu mengucek mata. Fabian disebelahnya sama adanya. Malah ia tertidur pulas tadi, alhasil beberapa menit yang lalu Fabian kena lempar dengan penghapus papan.
"Gue ngantuk." Sahut Fabian mengucek matanya. Sambil menyalin catatan di depannya. Retta hanya ikutan mengangguk.
"Oi, anak baru.. soal kemarin, temen-temen gue itu cuma usil, jangan masukin hati ya." Ujar Fabian menatap ke arah Retta yang asyik menulis balik menatap laki-laki disebelahnya dan mengangguk lantas kembali mencoba fokus pada papan tulis di depannya.
Fabian berdecak kesal "Nggak ada jawaban lain, apa selain anggukan? Ni anak bicara irit amat."
Retta menggeleng antara mendengar dan tidak apa yang dikatakan oleh Fabian. Gadis itu sibuk mencoba memahami soal di hadapannya. Rasa kantuknya sedikit menghilang.
"FABIAN! Papan tulis itu di depan! Bukannya di wajah Claretta. Kerjakan soal di depan ini!"
Sontak kata 'Cie' memenuhi langit-langit kelas.
Fabian menghembuskan napas pelan. "Yah ibu... Saya cuma nanya aja kok sama Retta."
"Jangan banyak alasan kamu, kerjakan soal ini!"
"Iya bu.." Ucap Fabian pasrah.
Fabian maju ke depan dan menggaruk kepala sambil berpikir menatap soal di depannya.
ini matematika cucu siapa. kok pengen gue tabok aja ya..
Fabian mengambil spidol di meja guru dan mulai menjawab soal di depan. Beberapa kali hapus akhirnya ia bisa menyelesaikannya bertepatan dengan bel keluar main.
Fira menghampiri Retta yang disusul oleh kedua teman mereka yang lain.
"Yuk!" Fira menarik tangan gadis itu ke kantin.
Gadis itu menurut saja. Namun, ternyata di kantin tidak akan setenang yang ia bayangkan. Ia melihat Deandra dan teman-teman yang lainnya sedang duduk di dekat Fabian. Retta sibuk menghabiskan nasi goreng nya. Sebelumnya mereka membahas acara menginap mereka yang berhubung besok weekend dan setelah itu mereka akan pulang.
"Thadi... phas mhathemathika... ghue nghanthuk bahanghet thau nghhgak!" Fira menelan makanannya "Berasa ada lem ini mata gue."
"Eh monyet, Lo muncrat kena tangan gue!" Ujar Naifah mengambil serbet dan membersihkan tangannya dengan jijik.
"Et daaah. Gue nggak nularin virus mematikan kali Nai!"
"Makanya makan tu kayak cewek." Naifah geleng kepala melihat tingkah Fira.
"Bodo amat, gue yang makan ngapain lo yang sewot? Sampai sungokong ketemu mimi peri pun gue nggak peduli!" Ujar Fira tidak peduli dan melanjutkan makannya.
"Kalian, dimanapun bisa apa nggak usah berantem?"
Retta hanya menatap ketiga temannya itu. Ia tak tahu harus berbuat apa.
"Kurang waras apa coba gue bisa dapat teman. Satunya jutek dan blak blak kan, satunya dingin, polos dan kaku , satunya lagi naudzubillah." Sungut Naifah.
"Gue juga heran, kenapa ya teman gue satu ini hobi marah, dan nyebelin mintak ampun? Mungkin emaknya keseringan makan santan kali ya?"
"Emang kenapa sama santan?" Tanya Retta tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...