Laki - laki itu menggunakan jaket berwarna hitam yang diberikan Retta padanya.
"Jadi.. begitu ya dunia yang lo hadapi? Apa lo senang berada di dunia seperti itu?"
Laki - laki itu mendengus pelan sambil tersenyum getir. Entah kenapa di dekat Retta pertahanan nya selalu saja kacau balau. Ia memilih segera pergi dari sekolah. Sebelum pertahanannya hancur disini. Tak peduli langit tengah mendung.
Fabian melangkah masuk ke rumahnya. Ia hanya ingin istirahat di kamarnya. Ditambah lagi hujan dijalan yang tak sengaja diterobosnya saja. Ia hanya ingin membasuh badan dan istirahat.
Namun pilihannya sepertinya salah besar. Ia malah menemukan Papa nya diruang tamu duduk sambil menonton televisi.
Sebuah hal yang jarang terjadi. Bahkan rasanya baru pertama kali dilihat Fabian.
"Tumben kamu pulang cepat." Ujar Arya.
Fabian diam saja memilih menaiki tangga menuju kamarnya.
"Papa bicara sama kamu Fabian!" Tegas Arya menghampiri Fabian.
Fabian berhenti melangkah. Ia hanya lelah dan ingin istirahat sejenak melupakan semua. Tapi, kenapa seolah dunia ini tidak mengizinkan.
"Bicara apa pa?" Lirihnya terlalu lelah untuk bicara.
"Ikut papa ke ruangan." Tukas Arya melangkah masuk ke ruang kerjanya.
Fabian hanya melangkah pasrah. Menyeret kaki nya melangkah. Meski pikirannya menolak namun, ia memilih untuk mendengar saja saat ini.
"Sebentar lagi kamu kelas dua belas, dan kamu masih main - main, apa sebenarnya mau kamu? Kamu nggak mau juga ngelanjutin bisnis papa ini kan?"
Fabian diam saja sambil tetap memasang wajah datar. Ya, ia tidak mau harus melanjutkan bisnis papa nya. Ia hanya tersenyum getir. Ia bahkan tidak punya cita - cita juga. Apa indahnya dari punya impian? Pada akhirnya ia harus menjalankan bisnis papa nya meski ia tidak mau.
Fabian tercenung dan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Arya. Sibuk dengan pemikirannya sendiri tentang cita - cita.
"Fabian, kamu dengar tidak!" Tegas Arya membuat Fabian tersadar yang tadi berada di alam lamunannya.
"Apa kamu benar - benar mau jadi berandal hah?! Kenapa kamu terus aja cari masalah di luar? Papa nggak ngerti jalan pikiran kamu. Malah sampai nyulik anak orang lagi. Kamu kira Papa nggak tau?!" Ayahnya terlihat marah. Berbeda dengan respon Fabian yang tetap dingin dan memasang wajah datar.
Arya kemudian menghela napas berat. Percuma bicara dengan anaknya itu. Sudah terlalu jauh untuk merangkulnya.
"Begini saja... Jika peringkat kamu naik semester ini dan depan, maka terserah kamu mau jadi apa. Papa nggak akan maksa kamu lagi. Terserah kamu saja, ingin les dengan siapa, karena kalau Papa yang carikan kamu tidak akan mau belajar. Yang terpenting peringkat kamu naik dengan hasil usaha mu sendiri." Kini Arya menatap wajah putra nya serius.
Fabian ikut menatap Arya. Kenapa tiba - tiba Papa nya itu menawarkan syarat seperti itu. Apakah ada maksud tertentu pula. Ia hanya tersenyum miring dan menghela napas lelah.
"Apa tujuan Papa menawarkan syarat seperti itu pada saya?"
Arya menatap sendu putranya itu. Bahkan untuk mempercayainya saja Fabian sudah tidak bisa.
"Papa nggak ada tujuan apapun. Sudahlah, naik lah ke kamar kamu." Tegas Arya. Fabian pun melangkah pergi meninggalkan Arya yang menatap punggung putra nya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...