33

25 0 0
                                    

Retta membasuh wajahnya yang kuyu dan terlihat sembab. Sehabis menceritakan semua dengan teman - temannya gadis itu merasa sedikit terangkat beban pikirannya. Mungkin yang dikatakan Fabian itu benar. Kita juga manusia yang punya perasaan dan butuh di dengar.

Sambil menguatkan hati gadis itu keluar toilet dan pamit dengan teman-temannya untuk pulang duluan. Gadis itu segera bergegas berlari ke persimpangan sekolah menunggu bus menuju tempat janjian nya dengan Ayah dan Kakak tirinya. Rambut lurus berterbangan tertiup angin mengikuti gerakan tubuhnya hingga sampai halte bus ia terbatuk kecil mengambil napas sambil menormalkan detak jantung. Gadis itu duduk melamun di halte.

Tinnnn!!

"Order Ojek Online atas nama Mbak Claretta?"

Retta terlonjak kecil dan menatap sumber suara. Sedetik kemudian gadis itu hanya melotot kesal menatap Fabian yang tersenyum sumringah berhenti di depan halte. Retta merutuk kecil dan bersyukur mengingat dia sendiri di halte ini. Jadi, tidak ada yang melihat ia terlonjak kaget dan hampir berteriak mendengar bunyi klakson Fabian.

"Lo mau gue jantungan?" Ucap Retta sinis sambil memutar bola mata kesal. Gadis itu hanya menghembuskan napas pelan.

"Gue anter tempat Ayah lo." Ucap Fabian menatap lurus gadis yang kembali terlihat melamun itu.

Retta mengangkat kepala. Fabian turun dari motornya dan memberikan helm pada Retta yang masih diam. Retta mengambil helm dengan patuh dan naik ke boncengan motor Fabian dalam diam. Setelah memberi tahu alamat yang dituju gadis itu.

"Makasih ya, gue masuk dulu." Ucap Retta menyerahkan helm pada pemuda itu segera berbalik melangkah masuk ke cafe itu.

"Nanti kalau mau balik chat gue, gue mau ikut futsal dulu." Ujar Fabian sebelum menarik gas pergi sebelum Retta sempat berbalik menjawab perkataan laki - laki itu.

Gadis itu hanya mendengus pelan dan masuk pintu utama sambil mencari - cari sosok Ayah nya.

"Delia.. disini!" Panggil lelaki empat puluh tahun lebih itu melambaikan tangan. Retta langsung saja melangkah ke sana tanpa banyak bicara dan duduk.

"Sebentar lagi kakak kamu juga bakal datang." Ucap Haris menatap Retta yang kini duduk di hadapannya.

"Delia mau makan apa? Biar sekalian Ayah pesan." Tanya Haris hendak memanggil pelayan ke meja mereka.

"Hmm.. terserah Ayah aja. Delia nggak terlalu lapar." Ucap gadis itu tenang.

Tak lama sesudah itu wanita cantik usia 20 tahun lebih datang bergabung ke meja itu. Yang membuat Retta terkejut.

"Hai Retta!" Sapa wanita cantik itu tersenyum hangat.

Retta masih bingung dengan situasi dan wanita itu mengambil duduk di hadapannya. Disebelah Ayah nya.

"Kak Vivian?" Ucap gadis itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan nya.

Vivian hanya tersenyum seperti biasa. Tak menunjukan keterkejutan seperti di wajah Retta. Yang membuat Retta dapat menebak gadis itu pastilah sudah tau tentang dirinya.

"Jadi selama ini..."

Vivian mengangguk. "Sebenarnya dari awal saya udah tau siapa kamu." Ucapnya tersenyum muram.

"Maaf belum bisa memberitahu ke kamu yang sebenarnya. Karena, saya yakin.. kamu pasti akan sulit menerima semua ini. Tapi sekarang, sudah saatnya jujur tentang semua kesalahpahaman dan rasa bersalah karena, saya telah menjadi penghalang di keluarga ini." Vivian tetap tersenyum meski matanya berkaca-kaca.

Retta tercekat. Kata-kata yang ingin terucap dari kerongkongannya tersendat. Pada akhirnya semua juga terluka. Bukan hanya dia saja. Gadis itu menggigit bibir menahan tangis. Hanya menatap kedua orang di hadapannya bergantian.

The Rain is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang