Retta dan Naifah dibawa masuk ke dalam sebuah mobil dengan tangan terikat dan mulut dibekap kain oleh beberapa laki-laki itu. Entah drama apa lagi yang dipikirkan oleh gerombolan laki-laki itu. Retta mendesah berat menatap wajah gadis yang juga disandera. Naifah menangis tubuhnya masih gemetaran dan isakan tertahan dari mulutnya.
Ketiga lelaki yang berada di dalam mobil itu tidak memperdulikan mereka. Retta sempat memikirkan akan mengajak para gadis itu lari sewaktu mereka lengah saat akan masuk ke dalam mobil. Namun , belum sempat lari mereka sudah tertangkap.
"Apa? Mau kabur lagi lo?" Ujar Ardan yang melihat Retta menatapnya dibelakang.
Gadis itu menatap Ardan dengan pandangan datar. Kenapa ada pria sekasar mereka dan apa gunanya mereka disandera begini. Sebagai jaminan? Rendah sekali cara berpikir mereka. Retta yakin itulah rencana siswa SMA jaya bangsa ini.
"Lo mau marah? Silahkan.. gue nggak larang kok.." Laki-laki itu bersedekap santai.
"Tapi, gue nggak tanggung jawab sama nyawa lo semua." Ucapnya kelewat santai untuk sebuah ancaman.
"Jadi, yang patuh aja ya.." Tambahnya dengan senyum yang dibuat ramah.
Retta melengos pelan. Rasanya ingin ia balikan semua perkataan laki-laki itu. Tapi, dengan kondisi seperti ini ia tidak bisa apa-apa dan ia juga tidak bisa membahayakan teman-temannya yang lain.
Mereka di seret menuju gudang kumuh didekat kawasan hutan yang tak mereka kenal. Kain yang membekap mulut mereka dielepaskan. Retta mendengus saat kain dimulutnya dilepaskan. Sedangkan yang lain sibuk menjerit minta tolong.
"Mau kalian teriak, nangis nggak ada yang bakal denger kok! Teriak aja terus.." Laki-laki itu beralih menatap Retta yang terlihat tenang meski wajahnya pucat.
"Lo nggak ada takutnya ya? Kenapa lo nggak nangis kayak yang lain? Ayo nangis!" Ardan mengangkat dagu Retta dengan kasar.
Alih alih menjawab pertanyaan Ardan dihadapannya gadis itu menghela napas panjang sambil menggeleng perlahan.
"Apa tujuan lo culik kita?" Entah keberanian dari mana ia bisa mengatakan hal itu. Padahal ia sudah ketakutan jika laki-laki disana itu akan macam-macam dengannya. Ia juga tidak bisa menyangkal bahwa ia juga ketakutan seperti kejadian beberapa tahun silam. Namun, ia juga tak bisa diam melihat orang-orang tak berotak itu menganiaya dirinya dan orang lain karena hal remeh begitu membuatnya geram.
"Waah.." Ardan bertepuk tangan. "Belum pernah cewek seberani ini sama gue. Selamat nona pemberani, anda yang pertama."
Ardan maju selangkah mendekati Retta dan menendang kursi di dekat gadis itu.
"Jangan harap lo bisa selamat kalau lo terus ngelawan gue!" Ardan duduk dihadapan Retta dan mendorong cukup keras kepala gadis itu dengan telunjuknya. Membuat retta yang tangan dan kakinya terikat jatuh tersungkur.
"Jadi, sekarang lo harus jadi anak baik ya.." Ardan mendorong kepala Retta lagi sambil tersenyum.
Laki-laki itu berdiri "Lo bertiga jaga mereka. Nanti gue bakal ngasih perintah selanjutnya. Permainan akan dimulai."
Sesudah itu laki-laki itu pergi dari tempat itu. Bersama dua orang temannya.
Drama macam apalagi ini? Pikir Retta. Permainan apa yang coba mereka lakukan. Lantas apa hubungannya dengan dirinya dan gadis lainnya disini, mengapa mereka harus dijadikan sandera begini. Lalu apakah semua ini ada sangkut pautnya dengan Fabian?
Gadis itu menatap Naifah disebelahnya dan tiga orang gadis kelas sepuluh itu. Jelas bahwa mereka kelas sepuluh karena badget yang mereka gunakan.
"Udaah.. sekarang kita berdo'a aja semoga kita bisa bebas dari sini.. kalian jangan sedih lagi. Kita nggak boleh nunjukin ketakutan kita.." Tukas Retta menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...