Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sebentar lagi mereka akan melaksanakan ujian akhir. Untuk itu mereka sibuk belajar tambahan di sekolah dan perbaikan nilai ujian tengan semester yang telah lalu.
Tenggelam dalam kesibukan masing-masing membuat Retta dan Fabian sibuk sendiri. Mereka hanya bertemu saat jam pulang sekolah. Itupun saat Fabian bersikeras mengantarnya pulang.
"Kayaknya gue butuh refreshing." Ucap Retta muram. Ia duduk setengah melamun di atas motor Fabian. Menatap langit yang mendung.
"Lo capek? Nelangsa bener keliatan nya." Tukas Fabian menaikan kaca helm memperlihat wajahnya. Ia melirik wajah Retta yang tak ada semangat.
Rintik hujan basah mengenai tangan Fabian yang membawa motor. Pemuda itu terdiam sebentar. Adegan Ibu dan Adiknya di bawah hujan deras kembali terbayang olehnya. Fabian memilih memberhentikan motornya dan mengajak Retta berteduh di depan teras toko yang tutup.
Retta melihat fitur Fabian yang kembali mengingatkannya saat pertama kali berteduh dengan laki-laki itu. Fabian bilang ia benci bila menembus hujan karena basah. Tapi lebih dari itu, Retta bisa merasa bukannya benci. Laki-laki itu hanya sedih dan belum bisa melupakan kenangan menyakitkan. Saat itu ia berumur sepuluh tahun dan harus mengalami kejadian mengerikan.
Retta tanpa sadar mengulurkan tangan memegang bahu pemuda itu dan menatapnya. Fabian tertegun balik menatap gadis itu. Retta memberanikan diri melangkah mendekat pada Fabian dan memegang lengan pria itu sedikit bersandar di sana.
"Gue tahu lo ingat sama Mama dan adek lo. Meski gue nggak merasakan sakit yang lo rasa secara nyata gue cuma mau bilang.."
"Nggak papa, sedih itu manusiawi, sekarang lo nggak sendiri. Ada gue di sini' Kalau gue bilang begitu boleh nggak?" Tanya Retta mengangkat kepalanya menatap Fabian yang lebih tinggi.
Fabian yang bergeming tersadar. Tenggorokannya terasa kering dan matanya mengabur. Ia membuka mulutnya tapi tak tau ingin berkata apa.
"Masa lalu biarlah dalam masa lalu. Masa sekarang yang kita jalani dengan baik dan masa depan yang nggak kita tau." Retta kini berdiri di hadapan laki-laki sambil tersenyum lembut.
"Hmm.." Gumam Retta menunggu jawaban Fabian.
Fabian mengusap kedua mata nya dengan tangan. Lalu tersenyum sedikit rasa haru dalam matanya. Retta balas tertawa kecil dan mencubit kedua pipi laki-laki itu.
"Nah.. begini lebih baik." Ucap Retta menarik kedua pipi Fabian sambil tertawa kecil.
Fabian mengernyit kesakitan lalu menahan kedua tangan Retta dan berjalan mendekati nya.
"Hujan - hujan gini jangan bikin gue khilaf." Ujar Fabian menatapnya.
Retta yang dipaksa ke sudut berusaha tidak menatap mata lelaki yang kini terus menatapnya. Retta yang panik langsung saja menendang tungkai pemuda itu reflek. Fabian kesakitan memegang kaki sebelah kirinya dan kesempatan Retta menjauh darinya.
"Lo pakai tenaga dalam apa ya? Aduh sakit kaki gue." Keluh Fabian berjongkok mengusap kaki nya yang di tendang Retta.
Retta tertawa geli sambil berdiri tak jauh dari Fabian. "Makanya jadi orang jangan usil. Gue reflek aja nendang." Ucap Retta masih tertawa.
Fabian berdiri memasang wajah cemberut. Retta yang tadi tertawa bahagia kemudian hanya menghela napas panjang.
"Ya.. gimanapun gue harus bisa melindung diri, biar nggak di gangguin lagi. Ya kan?" Ujar Retta memandang tetes hujan yang deras turun dari langit.
Fabian segera menatap Retta. Ekspresinya berubah kaku, Ia tahu Retta mengingat kejadian dulu saat ia di ganggu preman yang hampir memperkosa nya. Fabian meraih tangan gadis itu. Tanganya mulai terasa dingin dan berkeringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain is You
Teen FictionHujan yang kerap dikaitkan dengan hal sedih. Lalu bagaimana dengan seseorang yamg memandang hujan sebagai anugerah.Karena, kadang mewakili perasaannya. Yang menganggap hujan sebagai air mata dan salah satu hal yang menenangkan. Beberapa orang mungki...