"Pap..."
Mataku menyapu seluruh isi ruangan di apartemen ini namun sosok papah tidak terlihat sama sekali.
"Pap..." panggilku lagi sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Cukup lama aku duduk sendirian di sini sambil membaca koran yang tergeletak di atas meja makan sampai akhirnya papa datang dengan membawa sebuah amplop coklat di tangannya.
"Kamu sudah bangun Than..." papa mengambil tempat duduk di hadapanku.
"Ya pap... papa dari mana??"
"Papa habis menemui dokter Ansell..." jawab papa sambil mengeluarkan isi amplop tersebut.
"Sepagi ini...??" Tanyaku heran.
"Yaa... pagi ini dokter Ansell akan berangkat ke Amsterdam untuk menghadiri seminar kedokteran di sana... papa tadi habis mengambil hasil medis terapi kamu Than..."
Papa kemudian membaca satu per satu kertas yaag ada di tangannya wajahnya terlihat serius.
"Syukurlah... ini, bacalah..." papa menyerahkan kertas kertas itu padaku. Aku membacanya perlahan berusaha memahami setiap kata yang tertera di dalamnya.
"Hasil medis ini menyatakan kalo kondisi kesehatan kamu sudah pulih 90%..." papa tersenyum sambil meminum jus milikku.
"Syukurlah pap..." aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Akhirnya kesehatanku bisa pulih kembali, segala upaya penyembuhan yang aku dan papa lakukan selama ini membuahkan hasilnya.
"Kata dokter Ansell, terapi mu sudah selesai kamu hanya perlu melakukan check up minggu depan. Tapi kamu tetap tidak boleh melakukan kegiatan yang berat dulu, dan kamu belum boleh melepaskan tongkat itu..."
Aku tersenyum mendengar penuturan papa barusan, aku sangat lega karna mulai saat ini aku sudah tidak lagi menjadi penghuni tetap rumah sakit. Bayangkan saja, aku telah menghabiskan hampir empat tahun hidupku di sana. Satu tahun lebih aku terbaring koma dan hampir tiga tahun belakangan aku melakukan serangkaian terapi untuk memulihkan kesehatan ku.
Yang paling parah dari kecelakaan itu adalah kondisi tubuh yang nyaris saja lumpuh. Selain lupa ingatan dan aleksia, benturan keras di kepalaku menyebabkan aku tidak dapat menggerakkan tubuh bagian kananku karna adanya kerusakan saraf pada otak.
Terapi yang kulakukan selama ini adalah untuk mengembalikan kemampuan ku memahami huruf yang tersusun membentuk tulisan. Dan yang paling menyita waktu dan tenaga adalah mengembalikan tubuhku ke kondisi normal.
Potongan potongan ingatanku yang sempat hilang pun datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Selama ini papa tidak pernah berusaha mengingatkan ku akan sosok Valerie. Ia membiarkan ku mencoba mengingatnya sendiri seperti saran dokter Ansell. Dokter Ansell tidak ingin otakku dipaksa bekerja terlalu keras karna itu hanya kan menimbulkan efek samping negatif lainnha.
"Berarti kita bisa segera meninggalkan negara ini kan pap...??" Tanya ku penuh harap.
"As you wish Than... namun setelah kita mendapatkan ijin dari dokter Ansell..." aku melihat senyum terkembang di wajah papah.
Aku tau papah pasti sangat ingin kembali ke Indonesia, sudah terlalu lama papah meningalkan pekerjaannya, syukurlah selama ini ada om Daniel yang membantu papah menjalankan perusahaan selama papa berada di Jerman untuk menemaniku. Papah hanya tinggal memonitor perusahaannya via laptop, namun pernah juga beberapa kali om Daniel datang menjumpai kami di negara ini.
"Kamu pasti sudah sangat merindukan Valerie hem...??"
Entah mengapa tangan ku selalu refleks mengusap cincin pertunangan di jari manisku setiap kali aku mendengar nama Valerie di sebutkan. Cincin ini satu satunya pengingatku akan sosok gadis yang sangat kucintai itu. Dan cincin ini mampu membuatku mengingat kembali wajah cantik milik Valerie.
"Sangat... Nathan sangat merindukan Valerie pap... Nathan merasa sangat bersalah karna sempat melupakannya, ia pasti sangat terluka. Nathan gak bisa membayangkan bagaimana Valerie harus berjuang sendirian disana..."
"Sudahlah Than... jangan menyiksa dirimu dengan perasaan bersalah itu. Setidaknya kini kamu telah pulih, setelah ini kamu bisa menemuinya kembali dan menebus rasa bersalahmu itu. Valerie gadis yang kuat, kamu tau itu kan...??"
Ya, papa benar... Valerie ku itu adalah gadis yang kuat. Dia selalu bisa berdiri tegar menghadapi badai yang datang menerpa hidupnya. Namun aku juga tau, perasaannya pasti sangat tersiksa selama ini. Aku meninggalkannya karna kecelakaan itu, bahkan papah memutuskan agar kami menghilang sementara waktu dari kehidupan Valerie karna amnesia yang aku alami itu.
Papah menjelaskan padaku bahwa Valerie belum mengetahui bahwa aku telah bangun dari koma. Papah tidak ingin Valerie malah terguncang jika ia mengetahui bahwa sebagian ingatan ku yang hilang itu adalah tentang dirinya.
Papah merasa itu adalah keputusan yang tepat untuk saat ini, karna semata mata untuk melindungi gadisku itu.
"Dan, apakah kamu masih saja mengiriminya bunga...??"
"Yes pap... always..."
Setelah aku mendapatkan ingatan ku kembali aku memutuskan untuk mengirimi Valerie bunga setiap harinya, dimulai pada hari wisudanya. Hal itu aku lakukan untuk menebus sebagian rasa bersalahku dan juga sebagai bentuk perhatian ku untuknya. Walaupun saat ini aku belum bisa ada di sisinya setidaknya bunga bunga itu mampu mereflesikan kehadiranku. Aku ingin nantinya Valerie tau bahwa selama ini aku tidak pernah benar benar meninggalkannya, aku tetap ada di dekatnya walaupun jarak memisahkan kami.
"Oh iya Than, semalam Tommy menghubungi papah katanya ia telah meminta Valerie untuk pulang ke Indonesia..."
"Benarkah?? Lalu...?" Aku terlalu antusias setiap kali papah menyampaikan kabar mengenai Valerie padaku.
Ingatan ku tentang Valerie sudah kembali sejak enam bulan yang lalu, dan sejak saat itu tidak pernah sehari pun aku ketinggalan informasi tentang dirinya. Bobby, laki laki yang sudah dianggap saudara oleh Valerie itulah yang selalu memberitahukan padaku tentang keadaan Valerie di Melbourne.
Papah memang telah mengabarkan tentang kondisi kesehatanku pada uncle Tom dan aunty Meg, juga dokter Adrian dan om Daniel. Begitu pun juga dengan sahabat sahabatku. Mereka semua tau bahwa aku telah bangun dari koma dan pernah mengalami amnesia jangka pendek. Semuanya tau, kecuali Valerie...
"Dua minggu lagi Valerie akan datang ke Indonesia..."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan papah...
Dua minggu lagi...
Dua minggu lagi aku bisa bertemu dengan Valerie...
Oh my God... it's a real??
Valerie, tunggulah aku...
Aku sangat merindukan mu...
"Dan kini berdoalah agar dokter Ansell mengijinkan kamu untuk pulang kembali ke Indonesia..." ucap papah sambil menepuk pundakku bejalan meninggalkan ku sendirian.
Dua minggu lagi...
••••••••••••••••••••
Warning : typo dimana mana...!!!
Happy reading ♥♥♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Valerie (END)
Teen Fiction#1 teenage 12/9/2018 #202 teenfiction 12/9/2018 #9 youngadult 20/05/2018 Valerie Adams & Jonathan Alexander Saling jatuh cinta pada pandangan pertama di caffetaria sekolah. Terpisah selama empat tahun akibat kecelakaan yang mereka alami beberapa jam...