Part 15

2.7K 137 0
                                    

[ Valerie ]

Aku masih tak bergeming di dalam mobil Nathan yang saat ini sudah terparkir di kompleks apartemenku. Sudah sejak beberapa menit yang lalu aku terdiam seperti ini. Nathan masih setia menemaniku duduk dibalik kemudinya.

"Lo gak mau turun Val??" Suara Nathan terdengar sangat hati hati. Aku hanya menggeleng pelan.

"Sekarang lo mau gw anter kemana??" Tanyanya lagi. Aku kembali menggeleng.

Ku dengar Nathan menghembuskan nafasnya pelan, jari jari tangannya mengetuk ngetuk kemudi. "Apa kamu sedang terburu buru Than??" Tanyaku. Sesungguhnya aku merasa sangat tidak enak pada Nathan sekarang, dia sudah berbaik hati mengantarku pulang tapi aku malah tidak mau turun dan memilih bertahan di dalam mobil.

Kali ini otak dan hatiku benar benar tidak sejalan. Maaf Than...

"Gak kok Val... gw gak ada rencana kemana mana..."

"Emang lo mau kemana sekarang??" Tanyanya lagi.

"Entahlah..." jawabku.

Tiba tiba Nathan menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari kompleks apartemen. Aku tidak tau mau kemana Nathan mau membawaku saat ini. Aku tidak begitu peduli, karna memang sesungguhnya aku malas untuk kembali ke apartemen. Tadi uncle Tom memaksaku untuk pulang, dia meminta aku untuk beristirahat... sebenarnya aku masih ingin berada di rumah sakit menemani Vaness, tapi apa daya aku tidak mungkin membantah perkataan uncle Tom.

Tidak begitu lama mobil Nathan memasuki sebuah komplek perumahan elit. Aku tidak tau saat ini aku berada dimana. Hingga kemudian Nathan menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah berpagar putih.

Tiiiiinn

Sosok lelaki muda membukakan pagar, Nathan memarkirkan mobilnya di halaman rumah itu.

"Ayo turun..." Nathan membukakan sitbelt ku.

"Selamat malam Den..." lelaki muda itu menyapa Nathan saat kami turun dari mobil.

"Malam mas Jaka..." jawab Nathan.

"Papah belum pulang yaa mas??" Tanya Nathan.

"Sudah den... tapi mobilnya langsung dibawa oleh supir kantor..." Nathan hanya mengangguk anggukan kepalanya mendengar jawaban laki laki muda yang bernama Jaka itu.

Nathan menghampiriku dan menarik tanganku, "Masuk yuuk..."

Ternyata ini rumah Nathan... rumahnya besar dengan model yang minimalis. Halaman depannya sangat luas tertata rapih dengan berbagai jenis tanaman. Sekilas aku melihat motor merah milik Nathan yang terparkir di garasi.

"Paaap... papah..." Nathan sedikit mengencangkan suaranya.

Seorang wanita paruh baya mendatangi Nathan, "Den Athan udah pulang..." sapanya.

"Iyaa mbok... oh iyaa, papah dimana mbok??"

"Papah aden ada di ruang kerjanya... beliau sudah pulang sejak sore tadi..."

"Owh... yaudah Athan mau ke kamar dulu yaa mbok... tolong anterin minuman buat teman Nathan..."

"Yuuk Val..." Nathan mengajakku menaiki tangga besar menuju lantai atas. Ia membuka sebuah pintu putih besar yang berada di ujung bagian rumah ini.

Pelan pelan aku melangkah masuk, suasana maskulin menyambutku... ini kamar Nathan... aku bisa melihatnya dari nuansa hitam putih yang sangat kental. Kamar ini sangat luas, namun hanya sedikit barang yang ada di dalamnya.

Kakiku berjalan menuju balkon kamar Athan, ada sebuah kursi malas yang dilapisi busa tebal di sana. Aku duduk di atas kursi dan menyaksikan pemandangan kompleks perumahan dari atas sini. Semilir angin malam menerpa tubuhku.

"Yaa ampun, lo bisa masuk angin Val..." sebuah selimut tebal menutupi tubuhku.

Nathan berjongkok di depanku, ia telah mengganti seragamnya dengan sebuah kaos hitam dan celana putih selutut. Nathan terlihat sangat tampan memakai pakaian berwarna hitam. Rambutnya masih basah, membuat penampilannya semakin sexy.

"Lo tau gal Val, gw benci banget sama pihak sekolah..." aku terkejut mendengar perkataan Nathan. "Kenapa??" Tanyaku.

"Karna mereka menjadikan rok kurang bahan ini sebagai seragam..." ujar Nathan sambil menutupi paha dan kakiku dengan selimut.

Wajahku memanas mendengar kata akat Nathan... aku mencengkram erat selimut yang menutupi seluruh tubuhku itu. Mata tajam Nathan menatap tepat di mataku yang lagi lagi membuatku salah tingkah.

Nathan berdiri mengambil secangkir coklat panas dari dalam kamarnya.

"Minum Val... biar tubuh lo hangat..." ia menyodorkan cangkir itu kepadaku. Aku benci melihat Nathan yang berjongkok di depanku, karna itu membuat wajah kami sejajar dan sangat dekat.

"Lo tambah manis yaa kalo gak pake kacamata..." aku tersedak mendengarnya.

"Hei..." Nathan yang terkejut malah mengusap punggungku dengan tangannya dan membuat dudukku semakin gelisah.

"Gak apa apa?? Lo mau pindah ke dalam??" Tanyanya sambil mengambil cangkir dari tanganku.

"Gak usah... di sini aja..."

Nathan kembali berjongkok di depanku, "Jangan jongkok di situ Than..." cegahku.

"Kenapa??" Nathan mengernyitkan keningnya.

"Hmm... itu... nanti kaki kamu keram..." jawabku asal.

Aku gak kuat harus berhadapan langsung dengan wajahmu Than... kamu terlalu mempesona...

"Lhaa terus gw harus berdiri gituu??" Tanyanya dengan wajah konyol.

"Hm... sini... duduk sini ajaa..." aku menggeser tubuhku menyisakan sedikit tempat untuk Nathan.

Nathan menatapku sambil tersenyum... "Ini muatkan??" Tanyaku kemudian.

"Iyaa muat..." katanya setelah duduk di sampingku, "Kursi ini gak pernah di pakai untuk duduk berdua... ternyata muat juga yaa..."

Kini aku duduk bersisihan dengannya dengan selimut tebal yang membatasi kulit kami. Aku menatap wajah tampan di sampingku...

"Ada apa??" Tiba tiba Nathan juga melihat ke arahku. Aku cepat cepat menggeleng...

Duuh malu banget aku kepergok ngeliatin dia...

"Hm Than..."

"Ya??"

"Apa kamu mau mendengarkan ceritaku??"

Kini Nathan balik menatap wajahku... "Tentu..." jawabnya singkat.

Aku menarik nafasku dan memejamkan mataku, mencoba mengumpulkan kembali memori itu...

"Vanessa Adams, dia adalah kakakku... saudara satu satunya yang aku miliki. Usia kami hanya terpaut satu tahun... Aku sangat menyayangi Vaness, begitupun sebaliknya. Aku bisa merasakan betapa ia menyayangiku lewat sikapnya. Vaness selalu ada kapan pun aku membutuhkannya, ia selalu menjagaku dari hal hal yang sekiranya dapat melukai ku. Perhatiannya padaku sungguh luar biasa, bahkan terkadang ia mengabaikan dirinya demi aku..."

"Dimana ada aku di situ pasti ada Vaness. Kami lebih mirip sebagai saudara kembar..."

"Hari itu, Vaness dan kedua orang tuaku akan berkunjung ke rumah salah satu kerabat ayah di Melbourne. Aku tidak ikut bersama mereka karna aku harus mengerjakan tugas sekolahku. Sebenarnya saat itu Vaness ingin menemaniku, tapi aku melarangnya. Aku memaksa Vaness untuk pergi menemani ayah dan bunda..."

Pelupuk mataku sudah mulai panas, satu kedipan saja bisa membuat airmataku tumpah.

"Dan hari ituu, hari dimana Tuhan merenggut semuanya dari ku..."

••••••••••••••••••••


Hey Valerie (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang