III. ANNA IN WONDERLAND

240 39 48
                                    

Di bawah langit cerah dan malam yang makin larut, dua orang perempuan tengah berjalan menuruni kaki bukit. Salah satunya masih mengoceh tentang betapa indahnya pemandangan di sana kala malam, belum lagi langit dengan milyaran bintang yang jarang ia lihat selama tinggal di perkotaan dengan polusi setiap harinya. Marrietta tetap tersenyum mendengarkan ocehan Anna yang sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Setelah mereka melewati sungai dan jembatan kayu yang penuh dengan tanaman rambat berbunga di pinggirnya, Anna menghentikan langkahnya. Matanya terpana tatkala ia melihat peri-peri air tengah bermain di sana. Mereka bercahaya, sayap mungilnya nyaris transparan, warna biru terang mendominasi kulit para peri dan baju mereka yang terbuat dari kelopak bunga berwarna putih juga biru.

"Mereka ... cantik," kata Anna. Ia hendak mengulurkan tangan ke arah sungai kalau saja Marrietta tidak menarik tubuh Anna menjauh dari pinggir jembatan. "Hei!"

"Jangan sentuh mereka!" seru Marrietta. "Pixies tidak sebaik yang kau kira. Mereka bisa memakanmu."

Ekpresi Anna berubah, ia tidak tahu kalau ternyata peri-peri yang ia lihat itu nyatanya tidak sebaik yang ada di dongeng. Meski mereka terlihat cantik dan tampak tidak jahat sama sekali, tetapi mereka adalah salah satu makhluk jahat yang ada di Greina.

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Kini jalan yang awalnya hanya berupa tanah kering dengan semak-semak di sisinya, berubah menjadi jalan dengan batu-batu berbentuk persegi. Anna sama sekali tidak tahu ke mana Marrietta akan membawanya, sekeliling mereka kini sudah berubah menjadi deretan pohon maple berwarna pink. Perempuan di sampingnya bahkan tidak berbicara lagi setelah ia nyaris saja terkena pesona peri-peri air, suasana di sekitar mereka mendadak jadi canggung dan terasa tak nyaman.

"Emm, jadi ... sekarang kita akan ke mana?" tanya Anna mencoba untuk mencairkan suasana canggung di sekitarnya.

"Spring Castle," jawab Marrietta singkat tanpa menoleh sedikit pun.

"Spring Castle? Jadi di sana adikku berada?" Anna melirik Marrietta dengan tatapan penasaran.

Marrietta mengembuskan napas pelan, langkah kakinya terhenti dan ia segera menatap Anna dengan lelah. "Tidak, tapi saudariku bisa membantumu."

Anna mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi setelah Marrietta berbicara dengan ekspresi lelah. Awalnya ia berpikir bahwa perempuan itu mungkin lelah menghadapi ocehannya, atau tingkahnya yang bisa dibilang berlebihan saat memasuki Greina. Sebab, Greina benar-benar seperti dunia yang ada di imajinasinya Anna saat kecil, dunia dongeng dengan segala keindahannya. Ia suka menyebutnya sebagai Wonderland, apalagi pintu masuk menuju Greina ternyata harus jatuh dulu ke dalam sumur gelap yang ia kira tak berujung. Meski Wonderland dalam film tidak sesuai dengan imajinasi Anna, karena menurutnya dunia di film sangat aneh. Sejauh ini ia hanya belum menemukan bunga berbicara atau makhluk terbang menyerupai permainan kuda kayu di Greina.

Kalut dengan pikirannya, Anna sampai tidak ingat sudah berapa jauh ia berjalan. Sekelilingnya sama sekali tidak berubah, masih dikelilingi pepohonan dan langit dengan milyaran bintang. Suara burung hantu membuatnya tersentak kaget, Anna berjalan semakin merapat ke perempuan bergaun kuning di sebelahnya.

"Sampai kapan kita berjalan di hutan?"

Netra abu-abu Marrietta bergerak menatap perempuan berambut pirang dengan baju musim dinginnya, lalu menatap langit seraya berujar, "Seharusnya tak lama lagi. Kalau kita belum juga sampai ke Spring Castle saat tengah malam, sebaiknya kita naik ke atas pohon."

"Apa?" Anna menoleh cepat dengan ekspresi tanda tanya. "Kenapa?"

"Hutan musim semi tidak aman saat tengah malam, loup aveugle akan keluar untuk mencari makan sampai tanda-tanda fajar muncul," jelas Marrietta seraya menatap pepohonan di sekitarnya. "Aku rasa kita akan sampai di ujung jalan, Spring Castle ada di seberang sungai."

A Crown of SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang