9. Elang Putih

43 1 0
                                    

Aku menitikkan air mata saat ia mengirimkan kabar padaku.

"Dinda, Kakak hendak menikah."

Kesedihan mematahkan keperkasaanku. Foto pernikahan agung kemudian menjadi bukti atas terpenggalnya cinta yang kupelihara selama satu windu.

Kusebut ia elang coklat. Letnan pujaan yang menenggelamkanku dalam cinta panjang penuh nuansa kasih itu.

"Namanya Sari, Dinda. Kelahiran tahun 1974."

Seribu sembilan ratus sembilan puluh enam, ia resmi menjadi suami Amita Hapsari, perempuan yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari usiaku.

"Dinda, jangan sampai hubungan kita putus hanya karena Kakak menikah."

Kenyataannya, aku tak bisa menyembunyikan rasa sedih itu. Kutinggalkan Solo, aku hijrah ke ibukota. Melanjutkan S2 menjadi pilihan utama.

Hanya sekejap kupijak tanah Jakarta. Aku kembali pulang. Keberuntungan demi keberuntungan datang usai kesedihan besar. Setelah berhasil lulus tercepat dari teman-teman satu angkatan di S1 sebuah PTN di kota Solo, aku berhasil lolos masuk S2 di sebuah PTN di Jakarta. Tak berhenti sampai di situ, aku pun berhasil lolos dalam tes PNS.

Keberuntungan tak berhenti mendatangiku. Purnama, sosok teduh dengan jenggot rapi menawan hati, datang meminang diri. Seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan, purnama membawaku pada indah pernikahan.

Karunia Allah tak mampu kulukiskan. Lahir anak-anak penyejuk hati. Kehidupan indah membawaku pada nikmat laksana nikmat surgawi.

Suatu senja, kudengar kepak sayap elang.

Elang coklat hinggap di ranting basah.

"Dinda...."

"Kakak? Apa kabar?"

Suka cita bersemi untuk sesaat. Elang coklat begitu gagah dan memikat. Ia bukan lagi letnan pujaan, ia kombes tampan nan rupawan.

"Berapa anak Kakak?" tanyaku.

"Aku belum berputra, Dinda...."

"Benar?"

"Benar, Dinda..."

"Anakku dua, Kak..."

"Bersyukur, Dind... indah sekali kehidupanmu."

Gerimis datang. Elang coklat kembali terbang. Pertemuan sekejap membangkitkan kenangan.

***

Telah kukubur elang coklat. Kilau purnama begitu sempurna, hingga terlupa bayang manis di remang senja.

Bersama purnama, bahagia itu kian nyata.

Waktu terus berlalu. Di hening malam aku duduk terpaku. Cahaya purnama meredup, untuk kemudian perlahan menghilang.

Aku terguguk. Purnama terbenam, untuk selamanya....

Malamku terasa kelam. Cahaya indah tinggal bayangan. Tertatih-tatih kususuri jalan. Aduhai, tiada mudah melangkah dalam kesendirian...

Aku berhasil melewati rintangan. Di antara peluh yang membanjiri tubuh, aku duduk berteduh.

Aku terkesiap. Tak jauh dariku... elang gagah lekat menatapku. Elang di dahan kering... elang yang membuat rasaku kembali berdenting.

Ia mirip elang coklat, tapi bukan elang coklat. Ia elang putih. Elang yang tiba-tiba meninabobokan rasaku dengan kidung-kidung kasih...

Telah berlalu rasaku pada elang coklat. Telah terbenam purnama yang kucinta sekian lama. Telah kutenggelamkan diriku dalam lautan perjuangan yang dipenuhi badai dan gelombang.

Saat tiba-tiba elang putih melintas, mengapa seolah panah asmara terlepas?

Elang putih? Adakah sosok elang putih bagi kiasan peletup kasih?

(Cileungsi, Januari 2017)



Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now