"Bu, aku pasang kawat gigi, donk..." kata anak lelakiku.
"Apaan sih? Emang gigi kamu kenapa?"
"Biar rata, Bu..."
"Kan udah rata... tuh kalo "mingkem" aja bibirmu gak kenapa-napa... bagus koq..." kataku.
"Mingkem gimana?"
"Coba tutup bibirmu."
Anakku mengatupkan bibirnya.
"Nah...bagus koq... coba mrenges..."
"Ibu ngomong apaan sih... apaan mrenges?"
Aku tertawa.
"Maksud Ibu coba lihatin gigimu... coba tertawa..."
Anakku memperlihatkan giginya. Tertawa meski wajahnya terlihat sedikit kesal.
"Gak ada masalah dengan gigimu," kataku.
"Bu... buat gaya-gayaan doank..." ia terkekeh.
"Kaga. Mending uangnya buat beli kawat rumah. Ngapaian pasang kawat gigi? Mending adikmu aja yang pasang kawat gigi."
"Lha.. gigi Dara kan bagus, Bu... ngapain pasang kawat?"
"Ibu lihat kadang adikmu susah mingkem."
Anak lelakiku tertawa.
"Dia emang suka begitu Bu... bukan karena giginya tonggos, tapi bibirnya kecil..."
"Pokoknya Ibu mau dia pasang kawat gigi."
"Bu... pasang kawat gigi itu ribet, lho! Nanti giginya dicabut... trus... repot perawatannya.... belum lagi duitnya..."
Kutatap anak lelakiku.
"Trus ngapain tadi kamu minta pasang kawat gigi?" tanyaku.
Ia tertawa.
"Biar adil, Ibu aja deh yang pasang kawat gigi..!"
Aku melongo. Apa yang mau dikawat? Tua-tua keladi... tua-tua pasang kawat gigi.... ahahahaaa....
Hm, anakku meledek rupanya. Ibu gak butuh kawat gigi, tapi Ibu butuh gigi palsu....huhuhu...
***
Aku pulang mengajar. Kuparkir mobil di teras rumah. Aku berjalan hendak membuka pintu. Tiba-tiba mataku menangkap benda mengkilat di dekat ban mobil.
Aku menungging. Kuambil benda kecil berukuran panjang.
What??? Sebuah kawat.... kawat jemuran... bukan kawat gigi....
Aku tersenyum. Bayang wajah anak lelakiku tiba-tiba menari-nari....***
YOU ARE READING
Kumpulan Cerpen
RomansAku pulang. Kutinggalkan rumah duka Aninda. Kucintai seorang janda dari mendiang sahabat karib, tapi cintaku tertahan di langit-langit. Ia lebih mencintai dokter yang merawatnya, meski cinta itu pun tertahan di atas pusara... Aninda menyerah setelah...