21. Drama di Pagi Buta

114 0 0
                                    

Pengalaman ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku. Tak akan aku mengulangi untuk kedua kali.

Selepas sholat Subuh di jalan besar yang menuju Masjidil Haram, aku berniat meletakkan beberapa kursi lipat yang baru saja kubeli ke dalam masjid. Aku sempat bingung karena anak lelakiku langsung kabur ke hotel usai sholat dengan alasan sakit perut yang tak bisa ditahan.

"Aku aja Bu yang bawa," kata anak perempuanku. "Ibu tunggu di sini ya, jangan ke mana-mana. Nanti aku balik lagi."

Aku sempat melarang, tapi ia bersikeras.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku aja yang ke sana. Ibu duduk di sini aja."

Anak perempuanku memanggul tiga buah kursi lipat dengan wajah berseri-seri dan senyum mengembang manis sekali.

"Hati-hati, Nak..." kataku.

"Iya...."

Di remang pagi kutatap langkah tegap anakku. Gadis kecil kelas satu SMP itu memang lincah dan cekatan. Ia terbiasa mandiri bahkan menyukai kegiatan menantang semacam Paskibra dan beberapa ekskul lainnya. Ia bahkan menjadi ketua kelas, ketua paskibra dan ketua kamar.

Berpuluh menit kutunggu kemunculan anak perempuanku. Lautan jamaah umroh mengalir tiada henti. Kucari-cari di antara mereka, adakah gadis kecilku di sana?

Tidak ada... aku mendesis. Kucari lagi... kuamati lagi... tak ada juga. Aku mulai panik. Ini negeri orang. Mengapa kulepas gadis kecilku sendirian?

Muncul rombongan jamaah yang kupikir satu travel denganku. Saat hendak bertanya, mulutku seketika terkatup. Ternyata mereka rombongan dari travel lain yang tidak kukenal. Motif mukena mereka saja yang membuatku kecele.

Aku sedikit putus asa. Di mana gadis kecilku berada? Bayangan buruk tiba-tiba menghantuiku. Ingin kususul anakku, tapi aku ragu. Bagaimana jika ternyata ia muncul sementara aku tak ada di tempat semula?

Aku mondar-mandir, meneliti satu persatu jamaah yang lalu lalang. Anakku... di mana ia gerangan?

Aku berdoa sebisa-bisanya, berharap gadis kecilku muncul di hadapan mata. Aku terus meminta, antara harap dan cemas, antara yakin dan takut.

Tiba-tiba....

Bayang bocah kecil bergamis coklat terlihat dari kejauhan, "nyempil" di antara badan tinggi jamaah dari jazirah Arab.

Anakku.... aku pasang kuda-kuda, meyakinkan diri bahwa bocah itu benar-benar anakku.

Pagi masih menyisakan remang-remang.
Setelah jarak semakin dekat, sekitar lima belas meter, barulah aku benar-benar yakin bahwa ia memang anakku..

"Daraaaaa...!"

Ia tersenyum. Aku menghambur memeluknya. Kuciumi ia sambil aku terus bersyukur.

"Ibu kenapa, sih?"

Ia bertanya dengan enteng.

"Ibu takut kamu hilang, Nak...."

"Ih, lebay..." katanya sambil terus melangkah.

"Tadi aku desak-desakan, Bu. Susah banget mau keluar. Makanya lama... tanganku sampai sakit nih, Bu."

Kugandeng tangan anak perempuanku dengan erat. Kusimak cerita demi cerita yang dituturkannya. Kami berjalan beriringan menuju hotel.

Alhamdulillah... rasa panik itu lenyap sudah. Drama di pagi buta berakhir indah...

****

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now