Semalam aku tiba dari rumah sakit menjelang Isya. Badan masih lemas, pikiran lumayan terkuras. Gimana badan gak lemas, lha wong sekujur tubuh ditancap jarum terus-menerus. Diambil darah, dipaksa minum obat hingga volume pipisku melimpah bak air bah.
Ya, hiperthyroid yang kuderita berimbas pada pembengkakan jantung. Sejak penyakit itu bercokol di tubuhku, hari-hari sulit mulai menderaku. Kaki hingga sekujur badanku kerap mengalami pembengkakan akibat cairan yang menumpuk di tubuhku. Aku susah bicara, suara kerap hilang, susah bergerak, susah jongkok apalagi menaiki tangga. Hampir setiap hari aku mengalami diare yang tak kunjung berhenti.
Tak hanya itu, berat badanku menyusut drastis hingga 30 kg. Tulang belulang terlihat bertonjolan. Badanku bak potongan bambu runcing yang seolah mudah tertiup angin. Rambut pun rontok, keindahan pun lenyap. Aku yang dahulu manis (hihihi...) sekarang bak tebu yang tinggal ampas. Ahahaha.
Tapi.... eits.... aku tetap bahagia. Aku tetap bekerja. Aku tetap berkarya. Sakit bukan akhir segalanya. Bahkan jejak kanker yang membuatku kehilangan sebelah payudara pun tak meluruhkan semangat hidupku. Seperti perempuan sehat dan normal lainnya, aku pun tersenyum, tertawa dan menikmati hari-hari yang bagiku selalu terasa sempurna. Bahkan, aku masih bisa merasakan indahnya jatuh cinta, ahahaha......
Kembali ke laptop. Kembali ke cerita di atas.
Tiba di rumah pikiranku benar-benar terkuras. Bukan karena isi dompet yang menipis karena biaya kebutuhan dan kamar rumah sakit serta berbagai akomodasi yang membuatku meringis, bukan.... bukan itu. Uang bisa dicari, tapi kamar rawat yang nyaman tak setiap saat berpihak pada diri ini. Itu sebabnya kupilih kamar VIP kelas rumah sakit negeri dengan beragam pertimbangan yang masuk akal. Pertama, aku butuh kamar mandi setiap saat lantaran obat yang kuminum membuatku kebelet pipis setiap waktu. Gak kebayang kalau aku rebutan kamar mandi dengan pasien lain. Waduh bisa-bisa botol infus melayang. Buatku pipis di kamar mandi itu paling oke. Pipis di pampers sih oke juga kalau darurat. Tapi.... hihihi. Apalagi pipis di pispot. Cleguk.
Alasan berikutnya mengapa kini aku menghindari kamat rawat dengan jumlah pasien more than one adalah alasan kenyamanan. Sebagai pasien bpjs (askes) aku sudah kenyang dengan liku-liku tercabiknya perasaan. Kini saatnya aku balas dendam, hihihi. Tapi enggak ding, bukan itu masalahnya. Aku ingin saudaraku yang menungguiku pun terjamin tidur atau istirahatnya. Nggak "nggempulung" di tikar lantai, paling tidak bisa nyenyak dengan badan berbaring di sofa.
So, apa donk yang sebenarnya bikin pikiranku terkuras? Ya itu.... tugas bahkan PR yang belum sempat kutuntaskan. Seharusnya tanggal 20 Desember kemarin aku mengikuti tes/uji kompetensi. Lantaran sakit maka aku diikutkan pada uji kompetensi susulan tanggal 24 Desember. Belum sempat kuikuti tes, datang lagi announcement berikutnya. Finger scan harus segera kulakukan di sebuah SMK negeri. Data-data pelimpahan PNS ke kanwil Provinsi harus tuntas sebelum bulan Januari.
Badanku teramat lelah. Lemas. Pikiranku pun awut-awutan. Aaggh... mau ujian koq belum belajar. Banyak urusan badan koq meriang...
Semalaman aku tak bisa tidur. Berjam-jam mataku tetap terjaga. Apalagi nyamuk tiba-tiba tersenyum menggoda, menggigit ujung jari kakiku hingga reflek kupukul ia. Bukannya kena, malah dengungnya mengganggu telinga. Duh sebelnyaaaaa.....
Pukul empat pagi azan Subuh berkumandang. Aku bersiap mandi. Aduh... perut mules.... diare kambuh lagi....
Kugedor-gedor pintu kamar mandi. Anak lelakiku bergeming. Aku kelojotan. Kuminta anakku cepat keluar. Alamak.... pertahanan jebol...
Pukul lima pagi aku dan anak lelakiku siap berangkat menuju Bogor. Kutunggu grab car. Setiap badan ambruk aku selalu bergantung pada jasa transportasi online. Lha gimana mau nyetir kalo badan ngethithir.....
Perjalanan lancar. Jalanan lengang. Terkantuk-kantuk aku di dalam kendaraan.
Tak berapa lama kami tiba di sebuah Sekolah Menengah Atas. Kumasuki gerbang dengan langkah tegap meski sebenarnya rasa lemas masih terasa. Bersama anakku, kami duduk di bangku depan kelas.
Hari masih pagi. Hawa dingin menyambut kami.
Tiba-tiba perutku mulas. Diare hebat lagi-lagi menghampiri. Aku berlari kencang menuju toilet.
Aku keluar dari toilet dengan wajah pucat pasi. Lemas sekali badan ini. Aku berjalan gontai.
Alamak.... tempat uji kompetensi berada di lantai 3. Tertegun aku karenanya. Bagaimana bisa aku menaiki tangga?
"Ayo, Bu. Sini aku bantu."
Anak lelakiku mengambil tas cangklongku. Ia memapahku, mendorongku Setapak demi setapak kunaiki anak tangga.
Aku terengah-engah. Aku megap-megap. Rasanya mau pingsan....
"Ayo, Bu. Ibu pasti bisa."
Kunaiki anak tangga berikutnya. Di belakangku anak lelakiku mendorong tubuhku. Susah payah aku berjuang hingga akhirnya lantai 3 pun terkalahkan...
Alhamdulillah. Aku terduduk beberapa saat sebelum memasuki ruang ujian. Kuatur nafas, kutenangkan jantungku yang "mobat-mabit", kuredam detaknya yang kacau dan sangat kencang. Kutarik nafas perlahan.... hingga pelan tapi pasti debar jantungku tak beringas lagi. Hihihi.
Aku duduk di depan komputer. Memasukkan nomor uji kompetensi dan nomor validasi. Memegang mouse dengan tenang sambil senyum terkembamg. Tak ada rasa grogi saat membaca deret soal. Tak ada rasa gelisah saat menjumpai soal yang susah. Rasa tenang begitu menghanyutkan.
Aku menyelesaikan uji kompetensi dengan tepat waktu. Dan ahaaa..... nilai yang kuperoleh memuaskan...tak mengecewakan... alhamdulillah.....
Aku keluar dari ruang ujian, berjalan pelan menuruni tangga. Nafasku kembali 'krenggosan'. Jantungku kembali pyur-pyuran. Hari ini juga aku harus menuju tempat lain untuk menyelesaikan urusan.
Kutumpangi kembali grab car. Bersama anak lelakiku, kami menuju gedung sekolah lain. Cukup jauh jaraknya, hingga perjalanan kuisi dengan menulis cerita. Obat jenuh, huhuhu.
Kami tiba di sana. Lautan manusia menyergap mata. Aduhai.... bagaimana mengantri panjang dengan tubuh meriang?
Kuterobos barisan, kutemui panitia. Kukatakan bahwa aku sedang tak sehat alias sakit. Tanpa kuduga, ia memintaku maju ke petugas finger scan. Dalam hitungan detik urusanku pun selesai.
Aku pulang setelah mengucapkan terima kasih. Barisan pengantri memandangku dengan tatapan melongo. Baru datang koq ngeloyor keluar? Begitu kira-kira pertanyaan yang melintas di kepala mereka.
Aku pulang dengan kembali menumpang grab car. Perjalanan begitu lancar. Hatiku dipenuhi bunga-bunga mekar. Alhamdulillah... urusan tuntas sudah.....
Tak lagi kurasakan diare. Tak lagi kurasakan duka derita. Semua berganti bahagia.
Besok kupenuhi perintah dokter untuk kembali ke rumah sakit. Kembali menjalani rawat inap. Kembali melanjutkan pengobatan, agar kesembuhan segera datang. Aamiin Ya Allah....
Alhamdulillah.... di balik derita selalu ada bahagia....***
YOU ARE READING
Kumpulan Cerpen
RomanceAku pulang. Kutinggalkan rumah duka Aninda. Kucintai seorang janda dari mendiang sahabat karib, tapi cintaku tertahan di langit-langit. Ia lebih mencintai dokter yang merawatnya, meski cinta itu pun tertahan di atas pusara... Aninda menyerah setelah...