Aku tuh pingiiiiiin si ganteng jadi dokter. Kayaknya cucok tenan kalo dia pake jas putih. Gak tahu kenapa, si emak demen banget sama dokter. Baik itu Om Dokter, Pak Dokter atau Mbah Dokter, si emak cintrooong berat.
Suatu hari bertanyalah aku pada si ganteng.
"Mas, Ibu bangga kalo kamu bisa masuk kedokteran. Ibu doain kelak kamu jadi dokter."
"Aamiin...." demikian ia menjawab.
"Kamu belajar yang tekun donk Mas, jangan main game mulu. Kamu tuh sukanya pelajaran eksak apa apalan?"
"Aku sukanya pelajaran hafalan, Bu."
(Aku melongo).
"Tapi kamu kan jurusan IPA. Harusnya suka pelajaran itung-itungan donk."
"Emang dulu waktu sekolah Ibu suka pelajaran berhitung?" Ia balik bertanya.
"Kamu jangan ngikutin Ibu. Dulu Ibu parah, gak demen banget ama itung-itungan. Matematika dapet 5 mulu. Makanya kamu jangan kayak Ibu," kataku.
"Tapi Ibu jago bahasa. Ibu kuliah juga gak pake test. Jalan tol. Hebat, kan?" lanjutku.
Anakku menampakkan muka katro. Sebel euy, ibunya dikacangin....
"By the way busway on the way, besok Ibu ngaji lagi ya, Mas. Di Legenda Wisata, abis Subuh Ibu langsung jalan."
"Ngaji lagi? Hari apa aja, Bu?"
"Kamis sore di Rodja. Jumat sore di Pancoran. Sabtu dan Ahad pagi di Legenda."
Anakku geleng-geleng.
"Ibu jangan ambisius..."
(What?!)
"Ambisius gimana? Makanya kalo pas libur ayo ikutan. Bapak-bapak alias ikhwan di lantai bawah. Nah untuk akhwat di lantai atas."
"Ogah."
"Diajak kebaikan koq ogah. Aqidah kamu harus kuat, Mas."
"Emang dulu waktu Ibu segede aku ngaji juga?"
(Prikitiew.... ni bocah emang suka ngungkit masa lalu ibunya).
"Ngajilaaah.... waktu itu pake oncor kalo ke mushola. Kaga ada listrik, sepi, nglewatin tempat angker pulaaa....."
Anakku terdiam.
"Ibu tuh pingin kamu jadi dokter yang sholeh. Duh pasti bahagia hati Ibu lihat kamu piara jenggot kayak Ayah."
"Jenggot? Ih ogah...."
"Ogah mulu..."
"Bu, tar aku mau naik gunung lagi."
"Naik gunung itu enteng. Gampang," kataku.
"Ibu mah bisanya ngomul. Ngomong mulu. Coba aja Ibu buktiin. Balum naik Ibu dah tepar."
"Mas, sekali lagi Ibu bilangin, ya. Naik gunung itu gak berat. Yang berat itu naik tangga ke masjid."
"Koq?"
"Ya iyalah... kalo gak berat, ngapain kamu pilih sholat di rumah? Naik gunung gak malas... kenapa ke masjid malas?"
"Ibu gak tahu sih....kakiku sakit abis main bola...."
(Azan Maghrib berkumandang. Terdengar suara anak-anak memanggil anakku.
"Mas Addam.... sholat di masjid nggak?"
"Di rumah..." sahut anakku.
Aku tak mau kalah.
"Di masjid.... tungguin ya, anak-anak?"
Raut muka anakku manyun. Akhirnya ia bangkit keluar rumah. Menuju masjid.
Aku tersenyum. Ganteng.... ganteng... jangan malas donk Teng... Bukankah suatu saat kamu akan memenuhi harapan Ibu, menjadi dokter yang sholeh?
Kuambil mukena. Aku bersiap sholat. Tiba-tiba bayang wajah dokter pujaan melintas. Duh... gara-gara Om Dokter, aku terobsesi anakku jadi dokter....
Ah... jadi apa pun anakku, yang penting ia sholeh dan tawadhu...
Usai sholat kutatap foto anakku. Andai ia berjas putih dan berjenggot rapi... tentu ia mirip bahkan lebih tampan dari Om Dokter pujaan hati... hihihi.....
YOU ARE READING
Kumpulan Cerpen
RomansAku pulang. Kutinggalkan rumah duka Aninda. Kucintai seorang janda dari mendiang sahabat karib, tapi cintaku tertahan di langit-langit. Ia lebih mencintai dokter yang merawatnya, meski cinta itu pun tertahan di atas pusara... Aninda menyerah setelah...