Mendadak malam ini diriku teringat sosok kharismatik berjenggot tebal berkulit terang. Aeeman, ustad yang mendampingiku dan anak-anakku serta dua puluhan jamaah umroh lainnya bulan Mei lalu.
Ia menyambut kami di Mekkah setelah beberapa saat sebelumnya rombongan tiba di Jeddah. Dari tanah air seorang ustad mendampingi kami, sementara di Mekkah dan Madinah Ustad Aeeman dan seorang ustazah di Madinah mendampingi kami.
Ada yang menarik dari sosok ustad sebaya usiaku itu. Wajahnya begitu teduh, senyumnya begitu indah, tatapnya begitu lembut. Meski ia acap menundukkan pandangan, dengan gagah aku meninjunya dengan tatapan penuh keberanian. Ahaaaa.... ustad nan menawan, memandangnya teringat diriku pada kenangan di masa silam...
"Ibu masih ada wudlu?" Ia mengingatkanku saat kami bertemu usai sarapan pagi.
"Barusan wudlu, Ustad..."
"Subhanallah...."
"Ustad... bla... bla... bla..."
Ia tersenyum sembari menatap anak-anakku. Dialog kecil di pagi hari itu meninggalkan jejak di hati terdalamku.
***
Ustad itu duduk di luar hotel menunggu kami kembali dari masjidil haram. Ia tersenyum melihat kedatangan kami.
"Nanti jam 7 sudah siap di lobi ya, Bu..."
Aku mengangguk. Ya, hari ini kami akan mengikuti tour ke beberapa tempat bersejarah di sekitar Mekkah.
Aku duduk di bus di barisan paling depan. Melalui jendela bus kutatap sang ustad yang begitu lincah mengurusi berbagai hal. Gamis putih menutupi tubuhnya yang bersih. Kaca mata menghias bola matanya. Jenggotnya... aih... aih.... so sweet....
Lagi-lagi pikiran nakalku berkelana. Aduh kebiasaan mengkhayal...
***
Di Madinah, lagi-lagi hatiku terbuai. Sang ustad mengambilkan kursi roda dan mendorongku ke luar hotel.
"Pagi ini kita ke masjid Nabawi. Ibu pake kursi roda, ya? Nanti biar putra-putri Ibu yang dorong."
Uhuy.... rasanya melayang dah didorong sama ustad.... sampai-sampai hatiku ikut terdorong, qiqiqiiqjqqq.......
Berkat kursi roda sang ustad, aku bisa berdoa dengan lama dan leluasa di Raudhah tanpa "dioprak-oprak" asqar akhwat.
Hari berikutnya, di kebun kurma, sang ustad membantuku menenteng beberapa kilo kurma ajwa. Sungguh aku lupa, tak sadar kalau barang belanjaanku ketinggalan. Untung sang ustad baiknya gak ketulungan....
***
Tibalah hari terakhir di tanah haram....
Seperti halnya kesedihan yang kurasakan saat meninggalkan kota Mekkah dan masjidil haram, demikiam pula yang kurasa saat hendak meninggalkan Madinah dan masjid Nabawi. Hatiku berdesir saat menuju bandara Madinah.
Ustad Aeeman menyampaikan kata-kata hikmah dan salam perpisahan di atas bus yang membawa kami ke bandara. Hatiku 'nggrentes' tak terkira. Ustad muda itu banyak menoreh kebaikan pada kami sekeluarga.
Tiba di Prince Mohammad Bin Abdulaziz International Airport aku dan anak perempuanku bergegas menuju toilet. Sudah menjadi kebiasaanku, toilet adalah tempat favorit yang pertama kali selalu kuburu.
Kami keluar dari toilet dan menghambur ke rombongan jamaah. Kutoleh ke kanan kiri, ia tak ada.
"Ustad Aeeman ke mana, Mas?" Aku bertanya pada anak lelakiku.
"Sudah pamit pergi. Ibu kelamaan sih. Pak Ustad harus kembali ke Mekkah."
Aku terdiam. Hingga beberapa jam kemudian pesawat Saudi Airlines membawa kami kembali terbang. Hatiku riuh bergemuruh, timbul tenggelam di balik mega-mega.
Sepuluh jam kami di awang-awang. Ka'bah dan masjidil haram terus terbayang-bayang. Madinah dan masjid Nabawi terus terkenang.
Dan....
Bayang wajah sang ustad tak jua hilang dari ingatan. Saat tiba di tanah air, tulisan tentang sosoknya terus mengalir.
Ini adalah kali pertama aku terpesona pada jundullah, tentara Allah. Sosok bergamis putih, bukan berjas putih. Sosok ustad, bukan dokter....****
YOU ARE READING
Kumpulan Cerpen
RomanceAku pulang. Kutinggalkan rumah duka Aninda. Kucintai seorang janda dari mendiang sahabat karib, tapi cintaku tertahan di langit-langit. Ia lebih mencintai dokter yang merawatnya, meski cinta itu pun tertahan di atas pusara... Aninda menyerah setelah...