Lapangan bola yang luas ini cocok untuk pos baris berbaris di scout rally nanti. Walaupun Degi sosok yang kurang bergaul di sekolah, untuk masalah daerah dan tempat sejuk dia jagonya.
"Lo tau daerah ini dari mana?" tanyaku penasaran.
"Dulu, gue pernah nyasar sampe sini."
"Nyasar?" tanyaku heran. "Kok bisa?"
"Iya, jadi waktu itu gue iseng cari jalan pintas biar cepet sampe ke sekolah. Eh, taunya gue malah nyasar sampe sini."
Penjelasan Degi membuat otakku kembali bertanya, "emang rumah lo dimana?"
"Rumah gue, di Jalan Semeru."
"Bukannya Semeru harus lewat jalan raya, ya?"
"Makanya itu, gue bilangkan gue nyasar karna nyari jalan pintas."
Aku kembali membulatkan bibir mendengar penjelasannya.
"Kita istirahat dulu disini, ya," ujarnya yang menyender di salah satu pohon rindang. Aku pun kemudian mengikutinya.
"Oia, Der. Nanti pas pulang ke sekolahnya lagi, gue aja ya yang bawa motornya?" pinta Degi membuatku mengerutkan dahi.
"Kenapa?"
"Kayanya lo gak biasa ngendaraiin motor, deh. Soalnya dari tadi lo bawa motornya gak enak. Gue jadi takut," jelas Degi membuat aku malu habis-habisan.
"Iya. Gue emang jarang naik motor. Terserah lo aja, sih. Tapi emang lo gapapa ngebonceng gue?"
"Gapapa. Gue bisa kok," serunya.
Sampai di sekolah, aku menjadi pusat perhatian ketika memasuki gerbang. Aku, seorang laki-laki yang cukup tinggi dibonceng oleh perempuan yang tingginya tak melebihi bahuku.
Rasanya malu. Sungguh.
Bahkan ketika Degi ingin memarkirkan motornya, seorang siswi yang lengkap dengan kostum basketnya tertawa kecil ke arahku. Walaupun aku juga tak yakin apakah dia menertawaiku atau bukan. Tapi, setelah matanya menatapku sepintas, argumenku jelas bahwa dia menertawaiku yang turun dari boncengan Degi.
"Gi."
"Apa?"
"Gak jadi," ujarku bingung mengapa memanggilnya tadi.
. . .
"Oke, lokasi yang udah kalian cari, kita seleksi lagi. Pembagian tugas pos, besok kita bagi. Cukup sekian hari ini. Selamat istirahat." Dimas mengakhiri pertemuan hari ini. Syukurlah, aku kira pertemuan hari ini sampai malam.
Aku melihat Degi yang bersiap-siap memakai jaketnya. Ia pun membenarkan ikatan rambutnya yang longgar. Entah, sejak pertemuan itu, aku lebih sering memperhatikan Degi.
Kenapa?
Itu pertanyaan yang tak bisa ku jawab.
"Eh, Deri. Belum siap-siap pulang?" tanya Degi yang membuatku sadar.
"Oh, ini mau siap-siap."
"Yaudah, gue duluan, ya."
"Oh, iya."
Degi mengulumkan bibirnya. Ada yang berbeda dari wajah Degi dengan ekspresi seperti itu.
"Degi!"
"Iya?" Perempuan itu menoleh setelah namanya aku panggil.
"Hati-hati," ucapku. Perempuan itu mengangguk dan kembali tersenyum.
. . .
Sebelum sampai rumah, aku menepikan mobilku. Berhenti tepat di depan swalayan. Tenggorokan ku terasa amat kering, mungkin sebotol soft drink dapat menghilangkan dahaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
General Fiction"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...