Aku melangkahkan kaki malas ke kelas. Langkahku semakin berat ketika menaiki tangga berlantai putih ini. Sampai di ambang pintu, sudah banyak temanku yang datang dan duduk di kursinya masing-masing. Sebagian lagi ada yang membersihkan kelas sebelum bel berbunyi.
Aku masuk ke ruangan bernuansa putih ini dengan langkah gontai. Di samping kursiku, Tania sudah duduk termenung dengan earphone yang menggantung di telinganya.
Aku menjatuhkan diri di atas kursi coklat. Kantong karton yang ku bawa sejak tadi, aku letakkan di atas meja.Menyadari kedatanganku, Tania menoleh dan melepaskan earphone-nya.
"Udah cek Ig?" tanya Tania tiba-tiba.
Aku mengerutkan dahi dalam. Pertanyaan Tania mengingatkanku pada kejadian semalam. Aku melirik dari sudut ke sudut ruangan. Membalikkan badan melihat suasana yang sedikit aneh hari ini.
"Udah," balasku singkat.
Tak biasanya anak sekelas tak menghakimiku. Mereka masih tenang-tenang saja saat ini. Bahkan seperti tak ada masalah sama sekali. Padahal semalam, sebagian dari mereka berkoar di kolom komentar Instagram milik Deri.
"Are you okay?" tanya Tania membuyarkan lamunanku.
"Okay."
Sedetik setelah itu, Vanya yang duduk di barisan depan berbalik badan mengarahku. Dengan wajah khawatir ia mulai membuka mulutnya.
"Gi, are you okay?" tanyanya persis dengan Tania. Aku menjawabnya dengan anggukan mantap.
Tak lama, beberapa orang mulai mendekat ke mejaku. Ada yang membawa kursinya, ada juga yang duduk di meja sebelah. Berbeda dengan biasanya, kali ini mereka lebih santai.
"Gi, kita tau pasti lo lagi potek," ujar Vanya mewakili semuanya.
"Enggak, elah. Selow aja," seruku mengerti alur pembicaraan mereka. Ujung bibirku kubiarkan tertarik. Walau berat, aku harus tetap tersenyum pada mereka.
"Maaf, ya, Gi. Pasti ini semua gara-gara kita. Gara-gara kita lo jadi gagal move on. Padahal, waktu itu lo udah punya tekad mau ngebuang semua khayal tentang Deri," jelas Vanya lagi.
"Maaf, kita sering ledekin lo sama Deri. Kita pikir, dengan begitu Deri bisa peka sama lo. Dan kita yakin kalo Deri bisa jadian sama lo. Tapi kenyataannya nihil. Tekad lo buat jauh dari Deri udah bener. Tapi kita rusak dengan bualan-bualan sarkas kita. Maaf, Gi," jelas Vanya. Sepertinya, sebelum aku masuk kelas mereka sudah berkompromi lebih dulu.
Aku lagi-lagi tersenyum kecil mendengar ucapan Vanya. Karna hanya itu yang ku bisa hari ini.
"Bukan salah kalian, kok. Gue gagal move on gara-gara gue sendiri. Masalah kalian semua yang sering ngecengin gue, sih emang sebenernya penyebab utama. Tapi, tanpa kalian gue gak bisa sedeket ini sama Deri."
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengatur pernafasanku yang semakin sesak. Sekuat tenaga aku tak berkedip. Karna, hanya satu kedipan saja bulir bening dari mataku akan sukses jatuh ke pipi. Aku tak mau terlihat lemah dihadapan mereka.
"Udah, ya. Kalian jangan ganggu Deri lagi. Kalian udah liat sendiri 'kan posting-an dia? Kalo emang cewe itu jodohnya Deri, kalian bisa apa?"
Sungguh. Sebenarnya mengucapkan kalimat ini sangat berat.
Aku gak kuat, Tuhan.
Tapi bagaimanapun, aku harus tegar.
Gak boleh nangis di depan anak-anak, Gi.
"Gak usah ganggu dia lagi, ya. Plis bantu gue," ujarku sekali lagi.
Tania mengelus punggungku halus. Perempuan satu ini semakin membuatku sesak. Rasanya ingin cepat-cepat pulang dan memeluk Tania, menangis di dalam dekapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
General Fiction"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...