39 | Who is She?

84 10 11
                                    

Vardan melipat ujung kertas pada bagian terakhir yang ia baca. Bukannya pembatas buku itu hilang, tapi ia menyimpannya agar pembatas itu tidak hilang.

Dan sangat tak mungkin jika ia menghilangkan sesuatu yang bersangkutan dengannya. Ia pikir, dia sudah terlalu jahat hingga harus menjaga semua yang bersangkutan dengannya.

Vardan keluar dari ruang kerjanya. Melihat beberapa pengunjung yang mampir ke kedai kopi yang ia bangun satu tahun lalu.

Cuaca saat ini mendung. Mungkin beberapa saat lagi hujan akan mengguyur kota kembang. Kota kelahirannya. Kota penuh cerita.

Walau Jepang tak kalah banyak mengukir cerita, Bandung telah menorehkan cerita di hidupnya selama tujuhbelas tahun ia mengenyam pendidikan.

Suasana yang mendukung, membuat kedai kecil ini lumayan dikunjungi pemuda. Nyatanya, kursi-kursi yang disediakan hampir berpenghuni.

Vardan berjalan mendekati dinding yang masih kosong. Ia berpikir sejenak menggoyangkan bibirnya ke kanan dan  kiri. Sepertinya harus ada sesuatu yang ia tambahkan disana.

"Trian?" panggilnya pada salah satu karyawan.

Trian yang dipanggil, langsung meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Vardan yang masih berdiri di depan dinding putih kosong.

"Kenapa, Dan?" tanya Trian enteng.

Laki-laki satu itu tak pernah menganggap Vardan menjadi atasannya. Ini bukan penuh kemauan Trian. Vardan sendiri yang menginginkan hal ini. Ia tak mau karyawan-karyawannya terlalu membatasi jabatan sebagai atasan dan karyawan. Itu pun karna berhubung umurnya masih terpaut muda.

"Kayanya, kita harus nambahin sesuatu di sini," ujar Vardan melihat lurus ke dinding.

"Tambahin apa?"

"Apa, ya? Yang anti mainstream, gitu?" Vardan malah bertanya balik pada Trian.

Yang ditanya kini mengangkat sebelah alisnya sambil sedikit melirik ke atas. Seolah mencari ide di dalam otak brilyannya.

"Lukisan?" tanya Trian. Ia tak punya ide lainnya. Satu kata yang terlintas di pikirannya hanya lukisan. Trian sendiri pun bingung, karna ia bukan ahlinya tentang design interior.

Suara lonceng dari atas pintu mengalihkan mereka dari dinding putih itu. Keduanya kompak menoleh ke arah pintu masuk.

Wanita dengan sneakers abu masuk dari pintu itu gusar. Tubuhnya setengah basah karna rintik hujan di luar.

Vardan mengerutkan dahi melihat wanita itu membuka jaket navy-nya. Sebaliknya, Trian malah membulatkan matanya terkejut. Sesekali ia mengerjapkan mata untuk memastikan wanita itu.

Belum sempat Trian menyapa, wanita itu merasa seperti ada yang meliriknya diam-diam. Akhirnya, ia pun menoleh ke arah Trian dan Vardan yang masih mematut disana.

"Trian?" panggil wanita itu dengan nada heran.

Keduanya berjabat tangan setelah saling mendekat. Terlihat jelas dari keduanya saling melepas rindu.

Wanita itu menepuk bahu Trian asal. Deretan giginya terlihat rapi dengan senyum yang merekah tulus.

"Lo ngapain?" tanya wanita itu yang dibalas rangkulan oleh Trian.

Melihat Trian sangat akrab dengan pengunjungnya, Vardan memilih masuk ke ruang kerjanya sebelum Trian benar-benar meninggalkannya mematung sendirian.

Dari ruang kerja yang dibalut kaca, Vardan masih bisa melihat jelas wanita itu. Mereka duduk beberapa meter dari ruang kerjanya.

Vardan merasa familiar dengan wajah wanita itu. Apalagi ketika ia sempat memandang wajahnya beberapa detik tadi.

Ia terus memperhatikan sosok yang sedang bergurau dengan Trian. Suaranya tak asing. Apalagi gaya bicaranya. Sepetinya ia pernah mengenal wanita itu sesaat.

Getar ponselnya membangunkan Vardan dari lamunan wanita itu. Ia beralih ke ponselnya. Satu pesan masuk membuatnya menghela napas sedikit panjang.

Safa : Dan, gue otw ke kafe lo, ya?

Setelah membaca pesan itu, Vardan ingat bahwa sekarang adalah Minggu. Dengan cepat ia membalasnya.

Vardan : Oke.

Sudah menjadi rutinitas Safa di penghujung pekannya. Ia selalu mampir ke kedai kopi Vardan membawa Arsa. Beberapa mainan Arsa pun masih tertinggal di ruang kerja Vardan. Dan mungkin tempat ini menjadi rumah kedua bagi Arsa.

Ia meletakkan ponselnya di atas meja kerja. Pandangannya berpusat pada buku yang sempat ia baca beberapa menit lalu.

Ia membuka halaman paling akhir dari buku itu. Disana, tertulis jelas biografi singkat sang penulis. Senyumnya merekah sesaat.

Vardan ingat sekali senyum wanitanya sembilan tahun lalu. Bibir tipisnya melengkung bak sabit. Matanya menyipit terdorong pipi gembulnya. Vardan terkekeh saat itu juga. Bagaimana bisa ia mengaku bahwa wanita itu adalah miliknya?

Bahkan pertemuan terakhir dengan wanita itu pun, ia masih ragu. Masih banyak keraguan di dalam hatinya.

Namun itu dulu. Setelah membaca setengah buku di hadapannya, rasa keraguan itu sedikit memudar.

Sebenarnya, Vardan ingin cepat-cepat menyelesaikan buku itu. Lebih tepatnya novel. Namun ia pun ingin berlama-lama mengenal wanitanya dari novel tersebut.

Suara lonceng di depan pintu menembus sampai ke ruang kerja Vardan. Senyumnya tertoreh senang saat melihat gadis kecil dengan boneka di pelukannya.

Gadis kecil itu berlari kecil dan mendorong pintu kaca ruang kerja Vardan. Dengan sepenuh tenaga yang ia punya, tetap saja pintu itu tidak terbuka sama sekali. Gadis itu tetap bersikukuh mendorongnya sekuat tenaga. Dari belakang, Ibunya mendorong pintu itu dengan sebelah tangan.

Gadis itu tersenyum sampai matanya menyipit saat pintu itu terbuka. Ia langsung berlari kecil ke arah Vardan yang disambut dengan rentangan tangan Vardan.

"Papa!" teriak Arsa memeluk Vardan.

Wanita yang masih terpaku di depan pintu akhirnya masuk dan duduk di sofa coklat. Safa mengeluarkan beberapa keperluan Arsa seperti vitamin juga susu. Melihat anaknya akrab dengan Vardan, Safa tersenyum senang.

"Dan, sori, ya. Seperti biasa, gue harus titip Arsa ke lo," ucap Safa yang beranjak dari duduknya. Ia meletakkan botol susu juga vitamin Arsa ke atas meja Vardan.

Vardan tak menjawab ucap Safa karna sibuk mendengarkan Arsa bercerita. Setelah meletakkan botol susu dan vitamin, mata Safa terpaku pada novel yang terbuka di atas meja Vardan.

Safa sempat ingin mengambil novel itu karna penasaran, namun Vardan yang sedari tadi mensejajarkan dirinya dengan Arsa, berdiri sambil menggendong gadis kecil itu. Safa pun mengurungkan niatnya.

"Oke. Arsa bakal aman kok sama gue," ucap Vardan tiba-tiba.

"Oke. Gue pergi dulu," ucap Safa pada Vardan. "Arsa, Arsa main sama Papa Vardan dulu, ya. Mama mau pergi dulu. Ada urusan sebentar," cetusnya lagi sambil mengusap lembut ujung kepala anaknya.

Arsa mengangguk pelan setelah kecupan kasih sayang Ibunya mendarat di dahi.

Vardan yang masih menggendong Arsa, menemani Safa sampai ke luar pintu kedai. Arsa melambaikan tangan sampai Ibunya masuk ke dalam mobil dan melesat tak terlihat lagi.

Vardan membawa Arsa masuk ke kedainya lagi. Tatapan aneh yang terlontar dari wanita yang masih bercengkrama dengan Trian, membuatnya memperhatikan balik wanita itu.

Beberapa detik kemudian, Vardan mengabaikan tatapan itu dan melesat masuk ke ruangannya.

. . .

Next!

Gonna Be Yours✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang