17 | Dinner

92 9 14
                                    

Suara klakson mobilnya membukakan pagar hitam yang menjulang tinggi. Suzuki swift putih berhenti tepat di halaman rumahnya yang cukup luas. Pemiliknya kini masuk ke rumah bercat cream melalui pintu belakang.

"Deri? Kok lewat pintu belakang?" tanya Diana, Ibunya.

"Deri haus, Bu," cetus Deri yang langsung membuka pintu lemari es.

"Emangnya kamu dari mana, sih, jam segini baru pulang?" tanya Ibunya.

"Abis nge-basket. Sekarang Deri ikut ekskul basket," ujar Deri sambil merenggangkan tubuhnya duduk di kursi ruang makan.

"Gak salah, Ibu suruh Bu Indah pantau kamu. Pasti dia 'kan yang suruh-suruh kamu ikut ekskul? Lagian kamu itu jangan unsos, Der. Gak bagus." Cerocos Ibunya hanya ia tanggapi dengan anggukan-anggukan kecil seperti hiasan anjing kecil yang menempel di dashboard mobil Ayahnya.

"Iya, Ibu Deri yang cantik," cetus Deri sambil mencium pipi Ibunya dan pergi ke kamar.

Kelakuan Deri memang sangat kekanak-kanakan, apalagi terhadap Ibunya. Diana selalu memanjakan Deri -anak tunggalnya, karna hanya Deri lah satu-satunya harta yang paling berharga milik Diana.

. . .

Deri merebahkan dirinya di atas kasur beralaskan kain bergambar Ipod dan earphone yang menyambung. Matanya terus berselancar dari layar handphone-nya yang terus di-scroll.

Rasa ingin taunya kali ini sangat kuat. Ia mencari tanda-tanda ganjil di akun Instagram Degi yang beberapa hari lalu telah di-accept oleh Degi permintaan mengikutinya.

Matanya terus menelik satu-persatu posting-an Degi yang ter-upload.

Lagi-lagi posting-annya hanya foto cover novel yang diberi caption pujian untuk penulis novel tersebut, dan tak lupa juga ia men-tag penulisnya.

Seketika mata Deri menyipit, melihat satu posting-an terakhir. Disana terlihat sosok Degi yang sedang memegang kue ulang tahun sambil memeluk se-bouquet bunga. Ia berfoto bersama beberapa teman sekelasnya, bahkan mungkin ini seluruh teman sekelasnya. Degi yang kecil, tersenyum senang sambil diapit teman-temannya yang lain. Yang Deri kenal disana, hanya Rara. Dan yang lainnya hanya pernah ia lihat sesekali.

Latar foto ini pun di kelas mereka yang sedikit dihias dengan karton dan balon warna-warni.

Kekompakan kelas Degi membuat Deri iri. Ia iri dengan Degi yang mempunyai banyak teman. Sedangkan dia? Bukannya tak ada yang mau berteman dengannya, hanya saja Deri terlalu malas untuk sekedar mengobrol hal yang tak penting menurutnya. Dan hal ini yang membuat temannya sungkan untuk mendekati Deri.

Tokk... tokk!!

"Der! Makan dulu, Der!!"

Teriak Ibunya membuat laki-laki bermata coklat ini mengalihkan pandangan dari handphone. Ia langsung meninggalkan handphone-nya begitu saja di atas kasur dan melangkah menuju ruang makan.

"Makan dulu, Der," ucap Ardi ketika Deri sampai di ambang pintu pembatas ruang keluarga dengan ruang makan.

"Ayah pulang kapan? Deri kok gak denger suara mobil?" tanya Deri sambil menarik kursi kayu bercat coklat.

"Barusan, sekitar sepuluh menit lalu," balas Ardi. "Oh, iya, Der. Kata Ibu kamu ikut ekskul basket ya?" tanya Ayahnya sembari menuangkan air ke gelas.

"Iya. Kenapa, Yah?" balas Deri.

"Ya, gapapa. Bagus malah. Jadi anak basket itu keren, Der. Cewe-cewe banyak yang deketin," seringai Ayahnya terlihat jelas ketika kalimat terakhir dilontarkan. "Dulu waktu Ayah sekolah seumur kamu, Ayah jago basket. Malah Ayah jadi kaptennya," jelasnya lanjut.

Gonna Be Yours✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang