Bel pulang sudah berdering nyaring. Saatnya aku keluar dari ruangan yang penuh dengan rak berisi buku. Padahal tinggal beberapa lembar lagi buku itu selesai aku baca. Dengan berat hati aku meletakkannya kembali di tempat semula. Kalau saja buku perpus yang ku pinjam kemarin aku bawa, aku akan menukarkannya dengan buku ini.
Dengan cepat aku melangkahkan kaki menuju kelas. Mengambil tas dan pulang. Namun, sosok itu mengganggu perjalanku.
Tak sengaja aku menatapnya terlalu dalam, hingga hampir jatuh ke dalam khayal abstrakku.
Degi, sadar!
Aku berhasil melewatinya tanpa gugup. Namun setelahnya, dadaku sesak akibat melihatnya beberapa detik lalu. Aku memukulnya agar sakit itu menghilang.
It's okey, Gi. It's okey.
Sampai di kelas, aku langsung menyambar tas dan bergegas pulang.
. . .
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan menyambar binder kesayanganku.
Untuk Kamu
yang ekspresinya datar.Hari ini aku berpapasan sama kamu.
Entah kamu sadar atau enggak.
Tadinya aku ingin mengelum senyum ke kamu.
Tapi saat aku lihat ekspresimu begitu datar, aku mengurungkan niat itu.
Aku tak cukup berani melakukan hal bodoh yang kadang semakin bodoh jika aku pikirkan.Setelah melewatimu beberapa meter, dadaku tiba-tiba sakit.
Rasanya sesak. Seperti menghirup pasir halus.
Aku hanya memukulnya beberapa kali untuk mengurangi rasa sakitnya.
Namun, hal itu percuma. Karna sesak itu hanya kamu yang menyembuhkan.Dari Aku
yang belum bisa berani senyum ke kamu.Aku tak cukup berani berbicara dengan Deri. Bahkan, tersenyum padanya saja aku tak bisa. Aku tak tahan melihat wajahnya, dia sangat tampan dengan wajah dan mimik yang dingin. Hal itu membuat jantungku selalu berdebar. Jadi, aku hanya bisa menulis surat dan entah aku akan mengirim atau menyimpannya saja.
Aku teringat saat acara pernikahan Kak Tio, alumnus sekolahku yang juga Kakaknya Rio. Aku mengubah ekspresiku persekian detik setelah sadar bahwa Deri bergabung mendengarkan lelucon Rio yang sangat menggelitik. Gugup, malu, juga salah tingkah. Itu yang kurasakan saat itu. Mungkin, kalau dia memang memperhatikanku dengan jelas, dia mengerti maksud ekspresiku ini. Tapi, sepertinya dia tak menghiraukannya sama sekali.
Aku harus bersyukur atau kecewa?
. . .
Sudah dua hari aku tak sama sekali melihatnya di sekolah. Aku pikir, dia sibuk hingga tak keluar kelas sedikitpun. Atau, dia sakit?
Aku membawa setumpuk buku tugas yang Bu Sari berikan siang ini. Mentang-mentang aku wakil ketua kelas, mereka seenaknya menyuruh ku membawa tugas ini sendirian ke ruang guru.
Diperjalanan, sesekali aku melambungkan buku ini. Membenarkan posisinya yang condong ke depan.
"Degiiiii!!"
Aku menoleh ke belakang ketika Rara memanggilku.
Ahh, kebiasan banget anak itu. Selalu telat ngumpulin tugas.
Aku kira, Rara akan membantuku, namun sejurus kemudian ia kembali ke kelas setelah ucapan terimakasih yang ia lontarkan.
Aku kembali pada perjalanku. Tiba-tiba aku tersentak oleh Deri yang kini tepat di hadapanku. Ia menawarkan bantuan padaku, tapi aku menolaknya. Walaupun aku sudah menolak bantuannya, tetap saja tanpa aba-aba ia mengambil setengah tumpukan buku ditanganku.
Gugup. Sangat gugup. Tak berani menatap wajahnya.
Setelah selesai, aku bergegas kembali ke kelas.
"Deri!" Aku memberanikan diri memanggil namanya. Walau setengah mati aku mengucap namanya, aku harus mengucap terimakasih.
"Hmm, makasih, ya," ucapku satu napas.
Ia menoleh dan sedikit heran. Mungkin ia heran karna aku mengetahui namanya.
"Oh, iya. Sama-sama," balas Deri. Aku cepat-cepat berjalan menuju kelas, agar aku tidak kentara salah tingkah bertemu dengannya.
. . .
Next!
Kali ini ga ada AN, hihihi
Xoxo, Fian
27 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
Fiksi Umum"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...