Pagi buta kini, Calista menelpon sahabatnya yang sedang liburan di kota yang terkenal dengan gudegnya. Kalau saja besok Lala tak kembali pulang ke Bandung, Calista ingin mengajak sahabatnya itu menginap di rumah sewaannya malam ini.
Berhubung juga dengan Lala yang sudah mempunyai anak juga suami, agak sulit untuk memenuhi keinginannya untuk sleepover bersama sahabatnya itu.
"Mau dimana? Lokasi lo yang nentuin, deh. Gue kan gak tau daerah sini."
"Yaudah, nanti gue sms aja fix-nya dimana. Tapi Gian ngebolehin lo kan?"
"Boleh, lah. Sampe gak boleh, gue ngambek gak mau pulang," cetus Lala dari seberang ponsel Calista.
"Lala, lo harus patuh sama suami lo." Calista berlagak bijak dihadapan sahabatnya itu. Andai saja Lala melihat mimiknya, ia sudah menahan-nahan tawa yang ingin ia luapkan saat itu juga.
"Ah, elu kaya Kania aja. Suka kasih siraman rohani."
Calista menebak-nebak wajah sahabatnya di seberang sana. Pasti bibir mungilnya sudah mengerucut masam. Calista menarik sedikit ujung bibirnya sebelum berganti posisi menjadi duduk di pinggir ranjangnya.
"Oh, iya. Kania gimana? Gue sampe lupa," cetus Calista mengingat sahabat satunya lagi.
"Iya! Bentar! Bunda lagi telponan sama Tante Calis." Calista mendengar sahabatnya berteriak dari seberang sana. Alisnya terangkat sebelah mengira dengan siapa Lala berucap.
"Hallo, Cal?"
"Iya. Yaudah lo urus Nala dulu aja. Nanti kita lanjut lagi," ujar Calista mengingat Lala sudah menjadi seorang ibu.
"Iya, si Nala tumben rengek-rengek bangun tidur. Padahal ada Gian juga. Yaudah, jangan lupa sms lokasinya."
"Iya, oke. Bye La."
"Bye, Cal."
Tuttt...
Sambungan telponnya terputus. Calista langsung memindahkan posisinya ke atas kursi tempat ia menuangkan inspirasinya. Meja yang berukuran tak lebih dari tujuhpuluh senti kali seratus limabelas senti itu menjadi tumpuan tangan Calista. Ia langsung memangku dagunya dengan tangan kiri. Mengetuk-ketuk meja dihadapannya dengan jari telunjuk.
"Ajak Lala kemana, ya?" gumamnya sendiri.
. . .
Lambaian tangan Lala terlihat jelas dari jarak yang terlampau jauh darinya. Ia berlari kecil menghampiri Calista yang masih duduk santai di kursi panjang.
Sepoi angin terus mengusiknya, membuat wajah oval milik Lala terganggu oleh rambutnya sendiri.
"Hei! udah lama, Cal?" tanyanya sampai di hadapan gadis berbusana santai.
Calista menggeleng pelan, menepuk kursi panjang di sampingnya menyuruh Lala untuk duduk.
"Sepi juga, ya? Gue kira bakal rame," seru Lala. Matanya menjelajah melihat luas pemandangan.
"Pas jam tujuh tadi sih, masih rame," cetus Calista menyampingkan anak rambutnya yang melambai terbawa angin.
Lala duduk termenung di kursi panjang itu. Menikmati sejuk angin pagi menjelang siang. Walau tak sesegar tadi pagi, udara ini cukup membunuh penatnya menjadi Ibu rumah tangga. Ia puas-puas menghirup udaranya, tak mau melewati suasana seperti ini yang jarang ia temui di Bandung.
"Beneran besok mau pulang?" suara Calista membuat wanita disampingnya menoleh sesaat. Anak rambutnya yang mengganggu, ia ikat dengan tali yang melingkar di pergelangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
General Fiction"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...