Lelaki dengan celana jeans panjang dan kemeja biru laut yang dilinting sampai ke siku, masih fokus dengan jalan raya pagi ini.
Gadis kecil disampingnya heboh ingin cepat-cepat sampai tujuan.
"Papa, cepet, Pah!"
"Sabar, Arsa. Kita gak boleh ngebut-ngebut," seru Vardan.
Arlojinya masih menunjukan pukul sembilan lewat limabelas menit. Tempat tujuannya pun baru buka limabelas menit yang lalu. Otomatis, disana masih sepi.
"Arsa mau cepet-cepet beli buku mewarnai," rengek gadis kecil itu.
Vardan sudah biasa dengan rengekan Arsa. Telinganya sudah biasa menangkap gelombang nyaring milik Arsa. Walaupun saat ini mereka ada di dalam mobil, seharusnya gelombang itu sangat merusak telinga siapapun yang mendengarnya.
"Tuh, Arsa liat, kan?" tunjuk Vardan ke arah luar. "Satu belokan lagi, kita sampe," jelasnya lanjut.
Gadis itu tersimpul manis dan matanya berbinar.
Tepat setelah persimpangan lampu merah, bangunan lima lantai di hadapannya berdiri gagah. Vardan mengurangi laju mobilnya.
Sampai di depan gedung itu, Vardan harus sedikit mengantri untuk masuk ke dalamnya. Ini tak seperti biasanya. Hari ini bukanlah weekend. Tapi, tempat ini sudah ramai oleh pengunjungnya. Bahkan, jalan raya di depannya ikutan macet, akibat mobil yang mengantri meluber ke jalan raya.
"Tumben banget udah rame?" tanya Vardan sendiri.
Setelah beberapa menit mengantri, Vardan tiba di loket otomatis. Ia menarik secarik kertas dari loket dan portal berwarna hitam itu terbuka mempersilahkannya masuk.
Mobilnya berhenti di basement gedung. Kini mobilnya bersanding dengan Avanza hitam. Vardan menarik rem tangannya sebelum mematikan mesin dan keluar.
"Ayo, sayang. Kita keluar!" seru Vardan sambil menggendong Arsa keluar dari mobil.
Gadis kecil itu menautkan tangannya melingkar di leher Vardan. Senyum sumringahnya tak pernah padam. Pipi gembilnya selalu mengembang.
Mereka masuk ke lantai satu melewati tangga dari basement. Di ujung tangga, Vardan bisa melihat sesaknya pengunjung. Ia mengerutkan dahinya dalam.
"Ada apaan, sih?" tanyanya dalam hati.
"Pah, kok rame banget, ya?" tanya Arsa. Gadis kecil yang digendongannya menjelajah melihat lalu lalang orang.
"Iya. Tumben, ya, Sa?"
Mau bagaimanapun, mereka harus melewati kerumunan orang tersebut. Mereka harus ke lantai dua, tempat buku anak-anak.
Lift ada di seberang ujung tangga. Vardan mengeratkan gendongannya pada Arsa. Yang digendong pun menenggelamkan wajahnya di bahu Vardan.
"Permisi, permisi," seru Vardan menembus kerumunan itu.
Matanya menyipit melihat panggung di sudut ruangan. Tak terlalu besar, di atasnya terdapat sofa panjang dan meja. Beberapa dekorasi menghiasi panggung itu. Di depannya, sudah berjejer kursi alumunium yang dibalut kain putih.
"Oh, pantesan rame. Ada acara," gumam Vardan dalam hati.
Sampai di depan pintu lift. Dengan segera Vardan menekan tombol di samping pintu. Tak lama, suara dentingan berbunyi dari pintu lift. Pintu itu terbuka, cepat-cepat Vardan masuk ke lift yang tak berpenghuni.
Sebelum pintu tertutup rapat, Vardan mendengar riuh dari balik pintu. Terdengar suara samar lelaki maupun perempuan yang mengejar-ngejar seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
General Fiction"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...