Kiraku selama ini salah. Ternyata, Degi memang menyukai orang lain. Dan itu bukan aku.
Foto Degi dengan bando menyala itu, terus ku pandangi sambil mengingat betapa indahnya malam itu bersamanya. Aku ingat, dengar rengekannya meminta bando, ajakannya berfoto bersama. Terasa sangat tulus dari hati.
Tapi, saat melihat Bama yang duduk di samping Degi, percaya diriku hilang begitu saja. Bama adalah kapten basket Citra Harapan. Dan aku? Hanya pemain baru. Dan mungkin, Degi lebih memilih Bama daripada aku.
"Yah, Gi. Gue ciut lagi." Aku hanya bisa bermonolog pada foto yang ku genggam.
Foto-foto Degi sudah ku cetak dan ku kumpulkan di satu kotak khusus. Warnanya merah. Semua yang bersangkutan dengan Degi akan ku letakkan disini. Karna apa? Karna dia spesial.
Handphone-ku bergetar di atas nakas. Kulihat layar yang menyala. Aku hanya membutuhkan dua detik untuk melihat nama yang tertera di sana.
"Hallo?"
"Der, jangan lama-lama, deh. Hari ini juga lo harus tembak Degi," cetus perempuan dari seberang sana.
"Hah? Sekarang? Ini udah sore, Kak," pekikku melihat jam dinding menunjukan pukul setengah enam.
"Yaudah, malem kan bisa. Ajak main lagi, kek."
"Gue takut, ah."
"Takut apaan, lo? Takut ditolak?"
"Bukan. Gue takut sama bokap lo, Kak. Bokapnya Degi," ujarku hati-hati.
"Yaelah, Papa gue bercanda doang. Udah, gih gercep."
Perempuan satu itu langsung menutup telponnya. Aku menggaruk rambut gusar. Putri ini terkadang membuatku tidak mengerti, ia selalu menitahku seenaknya saja.
Tapi, semua perkataan Putri ada benarnya. Harus tunggu berapa lama lagi? Soal jawaban, itu urusan belakangan. Dan Putri pun sudah menanggung resikonya.
Jadi, buat apa lama-lama?
Aku langsung mengetik nama perempuan yang berkeliaran di otakku.
Degi.
Deri : Gi, nanti malam bisa ketemuan?
Tak butuh lama aku mengetik kalimat ajakan itu. Dan tak butuh waktu lama pula untuk aku menghapusnya.
Aku memilih untuk menelponnya saja, sekaligus aku bisa mendengar suaranya.
Tuttt...
Nada tunggu itu membuatku gusar tak sabaran. Aku menggoyangkan kakiku gugup.
"Ha-ha-llo?" ucapku gagap ketika telponku tersambung.
"Hallo? Deri, ya? Kenapa?"
"Iya. Ini gue Deri. Eumm, malem ini bisa keluar bareng gue lagi, gak?" tanyaku spontan tanpa basa-basi.
"Malem ini, ya?" suara Degi terdengar pelan seperti menimbang-nimbang ajakkanku.
"Iya, malem ini. Kalo gak bisa juga gapapa, sih."
"Hmm, bisa, sih. Tapi gak bisa lama gapapa?" serunya membuatku mencelus tiba-tiba.
"Oh, iya. Gapapa. Yaudah nanti gue jemput jam tujuh, oke?"
"Gak usah dijemput. Langsung ketemuan aja," tolak Degi membuatku bingung.
"Loh, kenapa? Biar gue jemput aja, Gi."
"Gak usah. Nanti gue ke lokasi naik taksi. Pulangnya aja lo anter gue."
"Oh, gitu, ya? Yaudah, deh. Ketemuan di Royal Stag, ya. Jam tujuh."
"Okey."
"Yaudah, sampe ketemu di Royal Stag," ucapku ramah.
"See you too."
Aku mengepalkan tangan erat. Menariknya sepenuh hati. Dan ini adalah kali keduaku merasakan hal yang sama pada Degi.
Aku membuka lemariku dan langsung memilih kemeja. Mengambil beberapa kemeja kesukaanku dan meletakkannya di atas ranjang.
Aku meletakkan tangan kiriku di bawah dagu berbentuk lambang Nike, sambil beberapa kali menepuk pipiku dengan telunjuk.
Warna yang bagus buat hari ini apa, ya?
. . .
Next!
Hei, makasih udah mau baca. Stay terus sampai akhirnya, yha.
Xoxo, Fian
28 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Gonna Be Yours✔
General Fiction"Aku bodoh, terlalu menyukaimu sampai aku lupa, bahwa aku bukan siapa-siapamu." -Degi Calista. "Dan aku lebih bodoh lagi, membiarkanmu terabai karna sifat pengecutku." -Deri Vardana. Apa kalian tau, rasanya cinta sendirian? Jika tidak, biar Degi yan...