Busur & Panah

704 69 2
                                    

"Hari ini kita akan mempelajari busur dan panah," ucap Abimanyu memulai sesi latihan. Cowok itu melangkah keluar dari dalam rumah seraya menenteng sebuah busur dan beberapa buah anak panah.

"Loh, bukannya kita masih akan belajar menggunakan pedang," balas Kei. Bukan pedang sungguhan, hanya sebatang kayu kering. Gadis itu mengerutkan dahinya. Bukannya Abimanyu yang bilang kalau permainan pedangnya payah?

"Rencana awalnya memang seperti itu, tapi setelah kupikir-pikir, aku takut tidak sempat mengajari kamu memanah. Aku takut tiba-tiba aku kembali ke duniaku sebelum mengajari kamu sesuatu yang lain," tandas Abimanyu. Ia menatap matahari yang belum naik terlalu tinggi. "Bisa kita mulai sekarang?" tawarnya mengakhiri basa basi.

Kei bimbang. Tiba-tiba saja muncul perasaan takut dalam dirinya. Bagaimana jika Abimanyu benar-benar menghilang? Bagaimana jika nanti malam? Besok pagi? Ah, Kei enggan untuk membayangkan jika cowok itu mendadak lenyap dari hadapannya.

"Bukannya kamu bilang pelajaran yang kemarin aku masih payah?"

"Aku tahu," sahut Abimanyu cepat. "Kalau aku masih tetap di sini sampai esok hari, kita akan lanjutkan pelajaran yang kemarin. Tapi, kalau tiba-tiba aku menghilang, kamu bisa melanjutkan belajar sendiri. Kamu masih ingat kan, dasar-dasar yang aku ajari kemarin?"

Kei mengangguk. Entah karena mengerti atau karena gerak refleks saja.

"Busur dan panah itu seperti jodoh," tandas Abimanyu memulai pelajarannya setelah Kei berhenti mengangguk.

"Kenapa mesti diumpamakan seperti itu? Males banget dengerinnya, tahu nggak," omel Kei setengah menggerutu.

Abimanyu hanya mengulum senyum mendengar kalimat yang dilontarkan gadis itu. Sepelan apapun gumaman Kei ia tetap bisa mendengarnya dengan sangat baik.

"Karena busur tidak akan berarti tanpa panah, begitu juga sebaliknya," lanjut Abimanyu mengabaikan reaksi Kei yang dirasanya terlalu berlebihan. Busur dan panah sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan Kei. Gadis itu pasti terlalu sensitif.

"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Kei tak sabar. Ia sama sekali tidak tertarik dengan teori yang diajukan Abimanyu. Akan lebih baik jika mereka mulai berlatih sekarang.

"Baiklah. Karena tidak ada papan target, apa kita bisa menjadikan pohon pisang itu sebagai sasaran?" Tangan Abimanyu menunjuk sebuah batang pisang yang berdiri di belakang rumah.

"Nggak," sahut Kei cepat. "Haruskah kita mengorbankan dia? Batang pisang itu nggak berdosa. Aku nggak mau dia jadi korban latihan kita. Dia kan belum berbuah," bela Kei sambil berkacak pinggang. Enak saja, batinnya sebal.

Abimanyu tertawa lantas mengangguk.

"Baiklah. Kalau begitu kita memanah tanpa sasaran," putusnya kemudian. Itu akan lebih baik ketimbang menyakiti batang pisang yang belum berbuah.

Abimanyu maju ke depan dan mulai meregangkan busur di tangannya usai mengambil sebuah anak panah. Ia memejamkan sebelah matanya saat memfokuskan ujung anak panah itu ke satu titik tak kasatmata di depan sana. Setelah ksatria itu melepaskan anak panahnya, benda itu melesat ke depan dengan cepat. Hanya mengenai angin, karena Abimanyu tak mengarahkannya ke sasaran apapun.

"Kamu sudah lihat, Kei?" Abimanyu menoleh kepada Kei. "Itu cara memanah yang baik. Sekarang kamu coba," suruhnya dengan tangan kanan mengulurkan sebuah busur pada Kei beserta anak panahnya.

Kei menerima kedua benda itu dengan malas. Sebenarnya ia tak begitu tertarik untuk mempelajari teknik memanah. Karena memanah tidak terlalu diperlukan dalam kehidupan nyata. Berbeda dengan bela diri atau permainan pedang seperti yang ia pelajari kemarin. Tapi, kalau dipikir ia yang akan rugi jika tidak menerima pelajaran yang diberikan Abimanyu hari ini.

"Renggangkan busurnya Kei," suruh Abimanyu. "Pundakmu harus tegap dan sejajar dengan lengan. Fokuskan sebelah matamu pada sasaran. Ingat, jangan terlalu gegabah melepaskan anak panahnya. Kamu harus yakin sebelum membidik target," tutur Abimanyu menjelaskan.

Kei menuruti perintah Abimanyu tanpa bantahan sama sekali. Ia menutup salah satu matanya untuk memfokuskan sasaran pada satu titik khayal di depan sana.

"Lepas!"

Anak panah itu melesat saat Kei melepaskan tali busurnya. Cukup buruk untuk seorang pemula.

"Ulangi lagi!" perintah Abimanyu tegas.

Begitu seterusnya. Entah berapa puluh kali gadis itu harus mengulangi gerakan yang sama. Kei harus berlari mengambil anak panah ke sana kemari. Sampai-sampai ia berpikir jika Abimanyu sengaja mengerjainya. Gadis itu baru berhenti setelah matahari telah naik cukup tinggi dan sinarnya garang memanggang kulit.

1 Feb 2017 / Revisi 17 Oktober 2019

ABIMANYU # TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang