Jodoh

784 70 0
                                    

"Kok malah nanya aku sih?" Kei menunjukkan wajah sewot. "Udahlah, aku nggak mau membahas itu lagi." Lagipula mana mungkin ksatria tampan seperti Abimanyu tidak punya kekasih? Percuma juga jika dibahas panjang lebar. Bukankah seperti kata Abimanyu, hidup dan matinya sudah ditakdirkan oleh Dewata. Pasti jodohnya juga sudah ditentukan.

Kei bergegas bangkit dari tempat duduknya seraya menyambar gelas kosong di tangan Abimanyu. Gadis itu melangkah ke dapur untuk mengisi gelas kosong di tangannya dengan sirup leci yang menghuni salah satu rak di dalam kulkas.

"Ini." Kei menyodorkan gelas yang telah diisinya dengan sirup leci kepada Abimanyu. "Tapi, jangan minta lagi, ya. Minum air putih jauh lebih baik untuk ginjal kamu."

"Terima kasih," ucap Abimanyu lembut dan sopan. Wajahnya terlihat semringah, girang bukan kepalang saat menerima gelas itu dari tangan Kei.

Kei beralih ke dapur dan tidak terlalu memedulikan betapa bahagia perasaan Abimanyu saat meneguk sirup leci buatannya. Gadis itu tiba-tiba ingat jika ia memiliki setumpuk piring kotor bekas sarapan pagi mereka yang menghuni wastafel. Mau tidak mau ia harus menyelesaikan pekerjaannya atau nanti siang tidak akan ada piring bersih untuk dipakai.

Meski dengan setengah hati, Kei mulai menyalakan keran air dan membasahi piring-piring kotor di hadapannya. Bermain dengan air sebentar lalu menuang sabun pencuci piring ke atas spon kemudian meremasnya berkali-kali sehingga terbentuklah gumpalan busa.

"Kamu akan segera bertemu dengannya."

Kei terenyak. Lagi-lagi, tanpa pemberitahuan sebelumnya, Abimanyu telah berdiri di belakang tubuh gadis itu. Hanya berjarak beberapa jengkal saja.

"Apa maksudmu?" Kei tertegun sejenak lalu memutuskan untuk menghentikan segala aktifitasnya. Gadis itu membalikkan tubuh. Ucapan Abimanyu cukup membuatnya tertarik.

"Orang yang kamu tunggu seumur hidupmu," sahut Abimanyu setelah mereka berhadap-hadapan. "Seseorang yang akan menghabiskan sisa umurnya bersamamu, berbagi segalanya denganmu."

Kei terperangah mendengar untaian kata Abimanyu yang terdengar indah dan menjanjikan.

"A...apa kamu bisa membaca nasib?" tanya Kei terbata. Ia terlihat sangat gugup dan ingin tahu.

Abimanyu tertawa renyah melihat sepasang mata Kei yang tampak lebih lebar dari sebelumnya.

"Aku bukan seorang pembaca nasib atau peramal. Tapi, aku memang punya kelebihan melihat masa depan dan masa lalu," tandasnya. "Sebenarnya ini rahasia, tapi aku melanggarnya karena aku tidak sedang berada di duniaku sekarang."

"Beneran?" tanya Kei lagi setelah berhasil menata hatinya agar tidak gugup di depan cowok tampan itu. "Kalau kamu bisa membaca masa depan, berarti kamu juga bisa melihat masa laluku, dong?"

Abimanyu mengangguk-angguk.

"Aku tahu semua tentang kamu," ucapnya. "Ada beberapa pria yang meninggalkanmu, kan?" Nada suara Abimanyu terdengar menebak, tapi sebenarnya ia hanya ingin meminta kepastian kebenaran tentang yang dilihatnya dari gadis itu, Kei.

Kei mendengus sebal. Di antara sekian banyak kisah dalam hidupnya, kenapa Abimanyu menyinggung masalah itu? Bukankah itu hal yang cukup sensitif? Dan mengingatnya saja sudah membuat Kei harus mengelupas kembali koreng luka dalam hatinya.

"Ya, itu emang bener," balas Kei akhirnya. Percuma menyangkal karena Abimanyu bisa membaca pikirannya. Cowok itu pasti sudah tahu semua hal ikhwal dirinya. "Kalau aja aku bisa, pasti aku udah balas dendam sama mereka. Tapi, sayangnya aku nggak bisa. Aku malah sendirian sampai sekarang dan ...merana," ujar Kei dengan sepasang mata berkaca-kaca. Sorot kecewa dan dendam jelas terpancar dari kedua telaga bening gadis itu.

"Sabar, Kei." Abimanyu menepuk-nepuk pundak Kei. "Di dunia kami ada yang disebut hukum karma. Siapa yang menabur angin dia yang akan menuai badai. Aku yakin di duniamu juga sama. Orang yang menyakiti kamu suatu saat akan disakiti juga."

"Boleh aku peluk kamu sebentar?" pinta Kei. Tanpa menunggu persetujuan dari Abimanyu, ia langsung memeluk tubuh cowok itu dan menumpahkan air matanya.

Kesempatan emas.
Kapan lagi bisa peluk cowok seganteng dia?
Hahaha...

Kei melepaskan tubuh Abimanyu dan menyeka air matanya sampai tak bersisa setelah beberapa menit kemudian. Rasanya melegakan usai menumpahkan segenap keluh kesah yang dipendamnya sendirian selama beberapa hari terakhir ini.

"Apa kamu percaya jodoh?" tanya Kei. Ia memasang senyum manis agar tampak baik-baik saja.

"Tentu," jawab Abimanyu singkat.

"Ah, ngapain sih aku nanya hal itu segala," gerutu Kei seraya memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba ia sadar jika dirinya tampak konyol di depan Abimanyu. "Bodoh!"rutuknya tanpa sungkan.

"Hei, hei."

Abimanyu langsung menangkap tangan Kei yang sudah terangkat ke udara dan terlanjur mendarat di kepalanya sendiri.

"Kenapa kamu memukul kepalamu sendiri? Apa itu tidak sakit?" tanya Abimanyu dengan menatap heran ke arah Kei.

"Ya, sakit," gerutu Kei sewot. "Tapi, itu hukuman buat kepalaku yang udah mikir ngawur."

Abimanyu tersenyum geli mendengar jawaban Kei. 

"Tetap saja itu tidak boleh, Kei. Tidak baik menyakiti diri sendiri. Dewata bisa marah nanti," ucapnya menasihati.

"Iya, deh."

"Lanjutkan pekerjaan kamu," suruh Abimanyu seraya melepaskan tangan Kei lalu mengusap kepala gadis itu yang tadi sempat dipukulnya sendiri.

"Baiklah, Raden."

Abimanyu tersenyum manis melihat Kei yang kini berlagak patuh seperti bawahannya di Plangkawati.

Ah, bagaimana keadaan di dunianya sekarang? Apa peperangan masih berlangsung?


28 Jan 2017 / Revisi 16 Oktober 2019

ABIMANYU # TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang