Bim

525 45 0
                                    

Kei tampak sibuk mengutak-atik smartphone miliknya, mengecek beberapa notifikasi yang masuk dan percakapan dengan teman-temannya di media sosial. Membaca status dan membubuhkan tanda like jika dia sedang ingin melakukannya. Sementara papa Kei duduk dengan gelisah, seperti tak sabar menunggu kedatangan relasi bisnisnya yang baru. Salah sendiri datang terlalu awal, batin Kei kesal. Gadis itu hanya sekilas melirik ke arah papa tanpa ingin mengeluarkan komentar.

"Kita pesen dulu aja, Pa. Kei udah keburu lapar, nih. Jadi, ntar orangnya datang pas pesenan kita udah datang," usul Kei mencoba mengusik kegelisahan yang tergambar di wajah papa. Ia benar-benar jenuh jika harus menunggu seseorang seperti ini. Lama pula.

"Sabar sedikit, Kei," sentak papa ikut kesal. "Paling-paling sebentar lagi dia datang. Mungkin orangnya masih di jalan, kena macet. Kamu tahu sendiri kan, betapa macetnya jalanan kota ini," sambungnya sembari melirik arloji yang melilit di pergelangan tangan kirinya.

Kei melenguh. Ia menyimpan kembali smartphone miliknya ke dalam tas ketika dirasa sudah tak ada lagi yang menarik dari benda itu.

"Nah, itu orangnya udah datang." Papa nyaris berteriak karena terlalu gembira saat memberitahu Kei bahwa orang yang mereka tunggu sudah datang.

Seketika Kei mengangkat dagunya dan mendapati seorang cowok sedang berjalan ke meja mereka. Gadis itu hanya melongo karena dugaannya meleset. Dalam pikirannya ia mengira orang yang ditunggu papa adalah seorang om-om seumuran papa, atau minimal beberapa tahun di bawah papa. Tapi, nyatanya ia salah. Seseorang yang sejak tadi ditunggu papa ternyata masih muda. Mungkin beberapa tahun di atas Kei, atau malah seumuran. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari sosok cowok itu. Perawakannya sedang, tidak jelek dan tidak tampan. Lumayanlah, bisa diajak ke undangan pernikahan. Kulitnya sawo matang, berkacamata, rambutnya dipangkas simple short. Dan yang membuat Kei merasa illfeel adalah baju batik yang ia kenakan. Memang sih, batik adalah budaya asli Indonesia. Pada dasarnya orang yang suka memakai batik berarti dia adalah orang yang menghargai budaya. Tapi bagi Kei, rasanya aneh jika seorang cowok yang terbilang masih muda memakai baju batik. Kesannya ia tampak lebih tua dari umurnya. Dia tidak keren sama sekali!

"Selamat siang, Om," sapa cowok itu setelah sampai di meja papa dan Kei lalu menyalami keduanya. Cowok itu cukup sopan dan kelihatan ramah.

"Oh iya, ini kenalkan putri om yang tadi om ceritain. Namanya Keihara, panggil aja Kei," cerocos papa mengenalkan Kei di depan cowok itu. Memaksa gadis itu untuk tersenyum sambil menyebut nama. "Ini Bim, relasi papa yang baru. Mulai hari ini kita akan berbisnis dengannya Kei," tutur papa seraya menyilakan cowok itu duduk.

Bim tersenyum sopan.

"Oh ya, Nak Bim pilih menunya aja dulu," tawar papa sembari menyodorkan kertas yang berisi daftar menu makanan di restoran itu. Padahal tadi Kei yang antusias untuk memesan makanan lebih dulu, tapi begitu cowok itu datang, papa malah menyuruhnya untuk memesan.

"Panggil Bim aja, Om," timpal cowok itu seraya tersenyum.

"Oh iya." Papa Kei balas tersenyum. "Kamu mau makan apa Kei? Kamu udah lapar kan?" Papa beralih pada Kei yang berubah jadi pendiam dalam waktu beberapa menit saja.

Kei tampak tidak antusias dengan acara makan siang ini. Padahal perutnya sudah berteriak minta diisi. Tapi, kehadiran cowok itu benar-benar mengganggunya. Ia mulai mencium modus dibalik ini semua. Papa tidak bermaksud menjodohkan mereka berdua kan? Kei hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya sambil melirik papa tajam. Karena gelagat papa sangat aneh begitu bertemu dengan Bim. Gesturnya mengatakan jika papa menyukai Bim.

"Apa aja deh, Pa," sahut Kei malas.

"Kalau kamu Bim?" Papa tak begitu memedulikan putrinya dan langsung beralih kepada Bim.

"Terserah Om aja deh." Bim terlihat pasrah.

"Kok kalian kompak banget sih," cetus papa. Ia menatap Bim dan Kei bergantian. Lantas beralih ke daftar menu makanan di tangannya dan pura-pura sibuk memilih menu makanan.

Kei melenguh. Papa mulai menyebalkan. Candaan garing dan basi yang papa lempar tadi membuat Kei yakin ada sebuah rencana tersembunyi dibalik acara makan siang ini. Meski ia belum yakin sepenuhnya.

"Soto ayam, rawon, sate, atau makanan western nih?" tawar papa beberapa saat kemudian. Ia masih tampak sibuk memilih menu makanan. Karena banyak pilihan yang ditawarkan restoran itu, lokal dan western.

"Soto ayam aja, Om. Lidah saya ini lidah orang Jawa soalnya," sahut Bim polos. Logat Jawa-nya terdengar kental.

Papa tergelak mendengarnya. Namun, Kei tak bereaksi sama sekali. Mereka sama-sama punya selera humor yang buruk, batinnya kesal.

"Kamu mau apa, Kei?" tanya papa beralih menatap putrinya.

"Ayam goreng ada nggak, Pa?" Kei balas bertanya.

"Masa ayam goreng terus sih, Kei? Setiap makan di luar kamu mesti minta ayam goreng. Nggak bosen apa?" papa protes. Meski ada menu ayam goreng, tapi papa enggan untuk menuruti kehendak putrinya.

"Tapi Kei suka, Pa." Nada suara Kei dibuat sedikit manja. "Kalau nggak boleh pesen ayam goreng, Kei minta mie goreng aja. Boleh nggak?" Ia mencoba beralih menu. Ia tak suka mendengar papa protes seperti tadi terlebih lagi di depan tamu.

"Baiklah," sahut papa. Ia memesan dua porsi soto ayam dan satu porsi mie goreng. Untuk minumnya papa memilih dua gelas jus jambu dan satu gelas jus alpukat.

"Jadi, seminggu sekali kamu balik ke Jogja?" tanya papa memulai obrolan sembari menunggu pesanan mereka datang.

"Iya, Om," jawab Bim. "Mau nggak mau. Lagipula banyak yang mesti diurus. Kebetulan Bapak lagi sakit, jadi saya yang harus mengurusi semuanya. Tapi syukurlah, keadaan Bapak sudah mulai membaik sekarang," papar Bim.

"Syukurlah kalau begitu, kapan-kapan Om ingin pergi ke sana untuk melihat kebun sayur milik kamu, sekalian liburan juga," sahut papa tampak antusias. Sedang Kei tampak acuh dan hanya menatap kosong ke atas meja. Sepertinya ia sama sekali tidak tertarik dengan percakapan itu.

Untunglah, pesanan mereka datang sesaat kemudian. Percakapan itu terhenti dan disambung dengan obrolan ringan sembari makan.


07 Februari 2017 / Revisi 19 Oktober 2019

ABIMANYU # TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang