Rumah

544 53 0
                                    

"Pa ..."

Kei meletakkan koper dan tasnya di atas lantai lalu memanggil papa agar pria yang sedang sibuk membaca koran di ruang tamu itu sudi melihat kedatangan putri tunggalnya.

Papa meletakkan surat kabar di tangannya lalu mengerutkan dahi ketika mengalihkan pandangan ke arah lantai, di mana koper dan tas milik Kei diletakkan gadis itu begitu saja di sana. Sementara si empunya barang masih berdiri tertegun dan belum beralih ke salah satu sofa yang tersedia di ruang tamu.

"Kamu sudah pulang?" tegur papa sekadar berbasa basi. Raut mukanya datar. Seolah tak senang melihat putrinya sudah kembali ke rumah setelah beberapa waktu 'kabur'.

"Ya, Pa." Kei melangkah pelan ke dekat papa dan duduk di sana tanpa komando. Gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa senyaman mungkin lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. Sepertinya perjalanan dari vila ke rumah sangat melelahkan buatnya.

"Sudah bosan tinggal di vila?" tegur papa jelas-jelas bermaksud menyindir. Ia melirik putrinya sekilas.

"Kei kan udah bilang mau liburan beberapa hari, Pa," tandas Kei. Orang baru datang jauh-jauh bukannya disambut dengan hangat malah disindir seperti itu, batin Kei kesal.

"Bilangnya beberapa hari tapi sebulan kamu di sana." Papa menaikkan nada suaranya satu tangga lebih tinggi. "Lagipula semua pekerjaan kamu harus dikerjakan sama sekretaris. Kasihan sekretaris kamu mesti bolak balik kantor-restoran. Dia harus ngecek restoran tiga-tiganya. Papa memberi dia bonus lebih bulan ini," papar papa menggerutu panjang.

"Lah, gitu papa mau buka cabang lagi. Tiga resto aja udah kelimpungan, bagaimana mau nambah lagi?" ujar Kei mengajak debat papa.

"Bagaimana nggak kelimpungan coba, harga cabe saja melambung tinggi. Sedangkan masakan kita pakai cabe semua. Papa pusing setengah mati soal yang satu ini." Lagi-lagi papa menggerutu panjang. Tapi, raut wajahnya tak seperti orang kesal.

Kei hanya bisa menyunggingkan senyum pahit mendengarnya. Hal semacam itu sudah kerap kali didengarnya selama membantu papa mengelola restoran.

"Sabar, Pa." Kei menepuk-nepuk pundak papa dengan lembut. "Badai pasti berlalu, kok," ucapnya sambil cekikikan.

"Kamu ini ..." Papa mengacak rambut Kei gemas. Anaknya memang bawel, terkadang menyebalkan, tapi ngangenin. "Rumah jadi sepi kalau nggak ada kamu, tahu nggak? Mama kangen sama kamu, tuh," ujar papa begitu mama muncul dari dapur.

"Bukannya Papa yang terus nanyain Kei?" sahut mama begitu mendengar namanya disinggung. Wanita itu lantas mencium pipi Kei, kanan dan kiri. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Kei. "Bagaimana kabar kamu, Sayang? Ada angin apa kok tiba-tiba kamu memutuskan untuk pulang? Udah kelar bertapa-nya?" celutuk mama panjang. Sindirannya lebih pedas dari papa.

"Mama ini ... Bukannya seneng anaknya pulang, malah ditanyain macam-macam," ucap Kei dengan memasang tampang sewot.

Mama malah meledakkan tawa melihat Kei ngambek. Ia sangat tahu jika Kei kabur ke vila setelah putus dari kekasihnya. Wanita itu memang sengaja membiarkan anaknya menenangkan diri di sana untuk beberapa lama. Karena ia yakin setelah Kei merasa baikan, gadis itu akan pulang ke rumah dengan sendirinya.

"Bagaimana kabarmu, Kei?" Mama mengajukan pertanyaan kembali. Kali ini lebih serius. "Papamu nanyain kamu terus, tuh." Mama melirik ke arah papa.

"Ya, iyalah Ma, ditanyain terus. Anak satu-satunya, cewek lagi. Tinggal sendirian jauh dari rumah, ntar kalau di culik alien bagaimana?" seloroh papa dibarengi gelak tawa mama. Namun, Kei malah memasang wajah cemberut.

"Sepertinya papa seneng banget kalau Kei beneran di culik sama alien," timpal Kei bersungut-sungut.

"Udah-udah," potong mama cepat. Ia tak mau anak dan suaminya berdebat lebih jauh. Bisa seharian jika mereka dibiarkan berdebat terus. "Kamu istirahat aja dulu, Kei. Atau kamu mau makan? Mama tadi udah masak pepes ikan tongkol sama sayur bayam, loh," tawar mama mencoba menggugah selera makan putrinya.

"Kei istirahat aja dulu, Ma." Kei memilih opsi yang pertama. Ia belum terlalu lapar sekarang. "Ntar biar Kei makan bareng papa aja." Gadis itu perlahan bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil tas dan kopernya dari atas lantai. Dengan malas Kei menyeret barang-barang miliknya menuju kamar.

Pada akhirnya, rumah lah tempat terbaik dan paling nyaman untuk pulang, batin Kei seraya melempar tubuhnya ke atas kasur.

Sebelum jatuh terlelap, Kei menyempatkan diri untuk menelpon Sandra, sekretarisnya. Ia harus memberitahukan kepulangannya hari ini. Dan juga tak lupa ia memberitahu Sandra jika ia akan pergi ke kantor esok pagi. Tak terbayangkan betapa gembiranya Sandra menerima kabar itu.

Kei akan kembali ke kehidupannya semula seperti saat sebelum ia mengenal Abimanyu. Tapi, bagaimana dengan kabar Abimanyu? Apa yang terjadi dengannya sekarang? Apa ia sudah meninggal seperti yang pernah ia ceritakan dulu?


06 Februari 2017 / Revisi 19 Oktober 2019

ABIMANYU # TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang