Bab 30 - Sebuah Kota

1K 102 19
                                    

Jejeran nisan berbaris di sebuah pemakaman umum. Suara senyap dan dingin menyelimuti setiap jejeran tempat peristirahatan terakhir manusia yang hanya ditemani pohon-pohon kamboja dan bunga-bunga kecil itu.

Seorang gadis berdiri di depan nisan sambil menggumamkan doa-doa dari bibir dinginnya. Ana memandangi nisan itu dengan mata yang muram, dia lalu menabur bunga di atas makam itu. Perlahan Ana menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dia melihat adiknya, Renan, yang membuat hatinya terasa diremas-remas. Dia sudah amat merindukan Renan dan tak menyangka akan bertemu dengannya di sini, namun wajah Renan dingin dan sama sekali tak melempar tatapan kehangatan padanya.

Ana diam dan menunduk, tak jadi beranjak pergi. Di sampingnya, Renan tampak memejamkan matanya sambil berdoa. Ana melihat sesekali ke arah Renan di dekatnya, rasanya ingin sekali mendekap adiknya itu, saling mengisi untuk menghilangkan rasa kosong di dalam hatinya ini. Kehangatan keluarga kecil Ana kini menjadi sedingin ini. Dulu keluarganya dipenuhi keriangan. Jika hal menyedihkan datang menimpa pun mereka tetap tersenyum, mengisi satu sama lain dengan kekuatan. Keluarga kecil yang sungguh lekat dengan keakraban, namun kini malah seperti terpisah tembok pembatas.

"Kakak pikir kamu gak akan pulang," ucap Ana sambil memperhatikan Renan yang sedang menabur bunga. Ana diam menelan rasa pahit karena ucapannya tak direspon Renan. "Kamu langsung pergi atau ke rumah dulu?" tanya Ana penuh harap. Namun tetap, Renan tak membalasnya.

Ana menunduk dan menghela napas dengan mata yang mulai diresapi rembesan airmata.

"Aku gak punya siapa-siapa lagi sekarang," ucap Ana pelan sambil menahan sakit di hatinya. "Ayah, Ibu, dan Kean sudah gak ada," jelasnya dengan pilu dan ada rasa marah di nada kalimatnya.

"Jangan sebut nama Kean!" bentak Renan dengan nada yang sedikit tinggi dan penuh tekanan.

"Ya, maaf," balas Ana sambil menelan rasa pahit yang mengikat tenggorokannya. "Kamu tahu, Nan. Kakak seneng, tahu kalau kamu sudah bisa senyum lagi walaupun senyuman itu bukan buat Kakak."

Hati Renan terasa diketuk dengan keras.

Ana berhasil menahan airmatanya untuk tak jatuh. Dia merelakan hatinya dipenuhi rasa getir karena sikap adiknya padanya. Dia lalu beranjak pergi, melangkahkan kakinya menjauhi sebuah makam bertabur bunga dan menjauhi Renan.

Renan yang tadi hanya menunduk sambil melihat makam di depannya kini menengadahkan kepalanya, menoleh dan menatap Ana yang berjalan pergi meninggalkannya. Renan memandang Ana dengan sorot mata yang diluapi kesenduan.

Ana menunduk dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan kiri, hampir saja dia terisak dan mulai menangis, tapi dia menahannya karena jika dia mulai menangis maka dia tak tahu kapan akan berhenti.

Renan memperhatikan Ana yang semakin menjauh dari pandangannya. Dia tahu, Ana sepertinya sedang menahan isak tangis. Renan mengalihkan sorot matanya dari Ana dan kini dia merasa matanya sepertinya sedikit basah. Namun, dia tidak menangis, hanya diam terpaku sambil merenungi sesuatu yang mengaduk-aduk batinnya.

Ana telah sampai di luar pagar pemakaman dan dia masuk ke sebuah taksi. Ana mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan ikatan sesak di dalam hatinya. Matanya kini melihat dengan sendu ke luar jendela taksi. Dia lalu menunduk dan memejamkan matanya, mengingat sesuatu yang telah mengantarkan keluarganya pada rasa dingin yang sebeku ini.

"Kean," gumam Ana pelan sambil menunduk dan merasakan aliran nostalgia berputar bagai roda di dalam kepalanya. "Kakak kangen," batinnya dengan sorot rindu yang tak tertahankan.

Enam tahun lalu ... Enam tahun lalu adalah pukulan yang amat berat bagi batin Ana. Banyak hal yang hilang dalam hidupnya termasuk adik tercintanya. Ya, Ana adalah kakak kandung dari Kean. Bagi Ana, Kean adalah sumber kebahagiaannya, bagaimana tidak? Dia adik yang manis, yang selalu ceria, tersenyum padanya dan membuat dirinya pun tersenyum karenanya. Tak terhitung rasanya rasa sayang Ana untuk adik yang sering bertukar tawa dan canda dengannya itu. Keluarga mereka pun hangat dan penuh kebahagiaan. Kean pula lah salah satu yang membuat keluarga mereka terasa ceria dan hangat, yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup. Kini, pedih rasanya jika harus menyadari bahwa Kean telah hilang.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang