Dena duduk di sofa dengan air mata yang masih segar, namun mulai kering. Jiwa dan hatinya sangat lega karena rasa rindu di dalam hatinya lepas dan terbuang jauh-jauh. Dia tersenyum haru. Rasanya dia seperti mendapatkan hadiah terindah dalam hidupnya saat tahu bahwa teman, yang selama ini dia kira sudah tiada kini ada di depannya dan tersenyum padanya seperti dahulu saat mereka masih dekat bersama.
Baru saja, Dena menceritakan pada Renan bahwa semua teman-temannya menyangka dia sudah meninggal dunia karena kecelakaan itu. Renan lalu tersenyum tak habis pikir. Dia kemudian menggaruk sejenak kepalanya yang tidak gatal lalu menoleh memperhatikan Dena yang sedang menghapus air matanya. Tapi, kalau dipikir lagi, dia masih bisa hidup sampai sekarang pun juga rasanya seperti bagian dari keajaiban, jadi tak aneh juga kalau teman-temannya menyangka dia tak selamat. Hanya saja, yang aneh adalah 'siapa yang mengatakan kalau dia sudah meninggal dunia?'
Dena mengehela napas lega. Rasanya hatinya ringan. Dia lalu tersenyum sambil menoleh dan menatap Renan yang juga menatapnya. Dena lalu tersenyum lagi.
"Sebenernya aku lega banget, tapi kalau harus kesel ya kesel juga. Gimana enggak, aku hidup bertahun-tahun ngira kamu udah gak ada. Terus, aku udah nangisin kamu sampe mau mati rasanya," jelas Dena mengenang rasa pedih di hatinya yang kini berubah menjadi rasa bahagia yang amat besar.
"Pantesan Jojo gak ada hubungin aku. Dia pasti ngira yang naruh kertas di bawah pintu itu setan," kata Renan disambut tawa pelan Dena.
Dena menepuk pundak Renan sejenak. "Iya. Dia bilang, kalau itu bener Kean, dia bakal merinding setengah mati," ucapnya.
Renan tersenyum sambil memperhatikan Dena, dia sungguh bahagia bisa bertemu dan saling bicara dengan Dena lagi.
"Ya ampun, aku harus gimana, aku rasanya seneng banget," ucap Dena lagi dengan wajah ayunya yang penuh rona-rona indah karena rasa bahagia yang tak henti mengalir. "Bener kan kataku," gumamnya.
Renan menoleh dan meminta penjelasan dengan sorot matanya.
"Kalau kamu kuat," balas Dena. "Tahu, gak? Aku bisikin kamu di rumah sakit, kubilang kamu pasti kuat dan jangan dengerin kata-kata Dokter, padahal dokternya Ayahku sendiri. Kata-kataku mempan, ya," katanya senang.
"Aku denger aja enggak, pede banget kamu, Na," balas Renan dengan nada candaan disambut tawa Dena. "Oya, Na. Aku ganti nama, loh."
Dena menatap Renan dengan heran.
"Namaku sekarang Renan, tapi kamu boleh panggil aku Kean, kok," jelas Renan.
"Loh, kenapa?" tanya Dena heran.
"Susah dijelasin kenapa. Yang jelas, habis kecelakaan itu aku, hm." Renan tampak berpikir karena jujur saja dia tak mau mengingat masa-masa pahit itu. "Aku gak bisa main basket lagi, Na. Terus, aku ngerasa kehilangan banyak hal termasuk temen-temen dan ... banyak lah," jelasnya. "Aku sempet putus asa, terus aku ganti nama dan mulai hidup baru. Niatnya sih begitu," jelasnya lagi. "Konyol, ya?"
Dena mengganti raut bahagianya menjadi sedikit sendu.
"Kamu baik-baik aja? Kamu gak bisa main basket lagi? Beneran gak boleh main basket lagi gara-gara kecelakaan itu?" tanya Dena dengan wajah serius.
"Iya, tapi gak usah serius gitu lah mukamu. Aku gak apa-apa, kok. Sekarang aku punya jalan lain kok selain di basket."
Raut sedih terlihat di wajah Dena. Dia tak dapat menerima kalau Kean, si kapten basket, si jago basket, dan si penyuka basket ini tak bisa meraih impiannya di dunia basket. Rasanya, walau dia bukan Kean, dia merasa sedikit sesak karena dia tahu betapa cintanya temannya pada dunia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Late To Regret [Completed]
Любовные романыRasa sesal adalah rasa yang paling sia-sia. Masih bisakah mendapatkan rasa 'bahagia' yang pernah dibuang demi sebuah penyesalan? Ketika seorang gadis yang tak pernah mau peduli dengan sekitarnya tiba-tiba mendapat ungkapan suka dari seorang lelaki y...