Bab 22 - Peduli

1.1K 104 10
                                    


"Elvelin."

Evel melonjak kaget. "Hah? Iya, Pak?" tanyanya panik.

"Tolong maju ke depan. Selesaikan yang saya tulis," ucap dosen berkepala botak dengan nada suara yang pelan, namun mengusik kerja jantung.

Evel menatap papan tulis sambil menahan panik di hatinya dan untunglah walau dia tak mendengarkan penjelasan dosen tadi, otaknya yang sudah ahli dalam berpikir ini dapat melanjutkan apa yang ditulis dengan benar.

"Jago juga kamu, El, kelihatan melamun aja dari tadi tapi bisa," ucap Maya pelan.

"Itulah gunanya otak yang selalu belajar," balas Evel pelan disambut tawa tak bersuara dari Maya sejenak.

Mata Evel lalu kembali menyorot ke arah Renan. Sejak tadi dia tenggelam memikirkan orang itu.

Suara geseran kursi terdengar, dan tapak-tapak kaki yang melangkah menimbulkan gemuruh kecil di dalam ruangan. Perkuliahan telah selesai, dan hampir semua mahasiswa serta mahasiswi mulai keluar dari ruangan menyisakan beberapa orang yang masih betah duduk di kursi.

Evel melihat Renan yang baru saja ingin beranjak pergi saat kelas sudah hampir kosong. Evel bangkit melangkahkan kakinya, mencoba menyusul Renan yang sudah keluar dari ambang pintu.

"Renan," panggil Evel.

Renan menoleh sejenak melihat gadis yang berdiri di sampingnya.

"Kamu kenapa sendirian terus?" tanya Evel. "Kenapa gak bareng yang lain?" tanyanya lagi.

"Memangnya kenapa?" balas Renan dengan nada yang tak terlalu bersahabat.

"Enggak, cuma tanya. Aku lihat kamu gak punya temen," ucap Evel. "Maksudku, gak punya temen pulang bareng!" sambungnya saat menyadari kata-katanya terdengar menohok. "Aku mau bareng kamu," kata Evel lagi sambil kemudian menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya karena merasa malu telah mengatakan hal itu.

Renan tak membalas ucapan Evel sementara Evel di sebelahnya tampak menyumpahi dirinya sendiri karena ucapan yang menurutnya membuat dirinya sendiri malu tadi.

"Maaf ya, aku bercanda," kata Evel lagi sambil kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat mendahului Renan dan sesekali menutupi wajahnya dengan buku yang dipegangnya. "Sombong banget sih, bikin orang malu aja. Jera aku ngajak dia bicara," batin Evel menahan gejolak rasa malu sekaligus kesal.

Evel menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat sadar dia hampir menubruk seseorang di belokan karena wajahnya dia tutupi dengan buku.

"Kenapa, El?" tanya Kirza saat melihat tingkah aneh Evel. "Jalan pakai mata bukan pakai buku," ledek lelaki berwajah lonjong dan kurus teman satu jurusan Evel itu.

Evel tak mengindahkan ucapan Kirza dan terus melangkah ke bawah menuruni anak tangga.

"Mba, teh lemon," seru Evel sambil duduk di bangku kantin.

"Gak makan, El?" tanya Tera sambil kemudian meminum segelas teh.

Evel menggeleng.

"Oya, aku gak ada lihat Renan. Dia langsung pulang, ya?" tanya Jona.

"Dia memang selalu begitu, kan," balas Evel sambil menahan rasa malu dan kesal yang masih sedikit mengisi hatinya saat teringat kejadian di koridor tadi.

"Oya?" tanya Tera.

"Iya, ya, dia jarang kumpul sama temen kampus," sahut Isha.

"Dia habis kuliah pulang, tidur, makan, kuliah lagi. Begitu setiap hari," jelas Evel.

Tera, Isha dan Jona menatap ke arah Evel dengan penuh tanya.

"Bukan begitu. Kost kami sebelahan soalnya," kata Evel mengklarifikasi kecurigaan ketiga temannya yang lebai itu.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang