Bab 39 - Bukan Mimpi

1.8K 130 72
                                    

.
.
.

"El," ucap Renan.

"Ya?" balas Evel membalas tatapan mata Renan dengan degup jantung tak karuan.

Renan diam sejenak lalu beberapa detik kemudian berucap....

"Aku bentar lagi mau nikah."

Sorot mata Evel tersentak.

Evel diam dalam getir yang dia tahan sekuat tenaga batinnya. Dia tahu sudah terlambat. Sudah terlambat untuk menyesali penolakannya dan sudah terlambat untuk meraih Renan kembali.

Bibir Evel membentuk senyuman, namun sorot matanya tak dapat dibohongi. Ada air mata yang bersembunyi di baliknya. Evel berusaha agar air mata itu tak terlihat, namun mungkin sebentar lagi air mata itu akan tumpah dan dia tak tahu harus berlari ke mana agar Renan tak menyadarinya.

Oh, jahat sekali batin Evel. Mengapa takdir seperti ini. Dia punya kenangan lebih banyak dengan Renan, dia memperjuangkan perasaannya selama ini untuk Renan. Tapi, haruskah semuanya berakhir segetir ini? Perasaan hati Evel pun tiba-tiba menjadi lusuh dan lesu.

Evel memandang Renan dengan sorot sendu yang tak bisa dia tutupi.

Renan tersenyum tipis, namun agak hambar. Dia lalu menunduk, menurunkan sorot matanya.

"Selamat deh, Nan, kalau kamu mau nikah. Aku seneng banget dengernya," ucap Evel dengan nada sukacita yang dibuat-buat untuk menutupi hati hancurnya.

"Maaf, ya," ucap Renan sambil memandang bola mata Evel yang berjarak satu meter di depannya.

"Buat apa?" tanya Evel mencoba menyirami hatinya dengan rasa sabar sementara perasaannya sudah amat sengsara.

"Karena aku masih gak mau nyerah," kata Renan. "Aku bentar lagi mau nikah, El," ucapnya mantap sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna putih ke meja di hadapan Evel. "Sama kamu ... kalau kamu gak nolak." Renan menatap Evel dan mengunci sorot mata gadis itu.

Bola mata Evel tak bergerak, jantungnya tersentak, napasnya terhenti, kepalanya kosong, hatinya meledak. Desiran haru tiba-tiba riuh berpendar di dalam lorong hatinya.

"Eh?" gumam Evel di sela rasa herannya yang terlihat amat jelas di mata Renan.

Evel mematung dan sorot matanya menatap mata Renan yang membentuk senyuman hangat. Evel terkunci dalam rasa kagetnya, degupan jantungnya terdengar seperti ledakan kecil. Dia tak bisa fokus, dan dunia di sisinya terdengar sepi, yang ada hanyalah sorot mata manis Renan. Evel perlu waktu untuk meresapi ledakan ketidakpercayaan di dalam hatinya. Dia masih terpaku.

"Jangan jawab sebelum kamu buka," kata Renan sambil menatap Evel dengan sorot matanya yang masih terasa hangat. "Buka sendiri, ya, El," ucapnya sambil semakin mendekatkan kotak kecil pada Evel dan tersenyum.

Evel tak tahu harus berkata apa. Pikirannya masih tak mampu percaya. Ini terlalu tiba-tiba dan tak disangka. Evel lalu meraih pelan kotak kecil yang disodorkan padanya dengan pikiran setengah kosong.

Sebuah kotak berwarna putih yang terlihat manis dengan balutan warna mutiara di sisi-sisinya disentuh Evel dengan jari dinginnya. Evel membuka kotak itu dengan pelan dan tangannya sedikit gemetar. Dia tahu, isinya pasti cincin. Namun, di kotak itu bukan hanya ada cincin. Cincinnya tertutupi oleh sebuah sticky note.

Mata Evel tertuju pada sticky note biru muda dan bibirnya membentuk senyuman ditemani matanya yang berkaca-kaca.

Evel membaca tulisan di sticy note itu dan air mata yang tadi tersembunyi kini perlahan menggenangi kedua bola matanya. Namun, ini bukanlah air mata kecewa yang tadi dia tahan, tetapi air mata haru.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang