Bab 15 - Sampai Jumpa atau Selamat Tinggal?

1.3K 139 23
                                    

Evel tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Keringat membasahi dahinya dan tangannya terasa sedingin es. Evel memejamkan matanya sejenak dan menggenggam kedua telapak tangannya yang dingin dan gemetar dengan erat. Jantungnya berpacu cepat, dia bahkan bisa mendengar dan merasakan detaknya.

Kamar kost sepi, jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Risa dan Meri sudah tertidur nyenyak di samping Evel, sementara Evel yang kini sedang terjaga sedang menatap langit-langit kamar kost-nya. Malam yang sunyi seolah menenggelamkan hati Evel yang kosong. Evel mengingat kamar sebelah yang sudah tiga puluh hari ini kosong. Berat rasanya setiap kali mengingatnya, namun dia tak bisa untuk tak mengingat. Apalagi di suasana sesepi ini rasanya waktu semakin semangat untuk berputar ke belakang.

Evel diam, mencoba untuk menenggelamkan dirinya ke dalam mimpi namun tak mempan. Dia lalu bangkit dan duduk sendiri ditemani suara binatang malam yang bersahut-sahutan. Evel menundukkan kepalanya sembari menutupinya sejenak dengan kedua telapak tangannya. Sudah sebulan, sebulan ini dia tak bisa melupakan kejadian itu. Sudah selama sebulan ini pula lah dia harus meneguk pil penenang pelepas trauma yang dia dapat dari kunjungannya ke pskiater.

Suara truk, suara kendaraan umum yang lalu lalang, jalan yang menjadi saksi bisu itu, sanggup membuat detak jantung Evel berpacu hebat. Hari yang mencekam dan menyedihkan itu masih tak mau hilang dalam bayang-bayang ingatannya. Masih tergambar jelas, bahkan terlalu jelas.

Evel bangkit dari tempatnya tidur. Dia masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Evel menyadari betapa bodohnya dia, dia malah semakin susah untuk terlelap jika matanya terkena siraman air.

Sebuah keluhan panjang keluar dari bibir Evel. Dia merenung meratapi nasibnya, oh tidak, nasib Kean lebih tepatnya. Dia masih tak bisa percaya. Orang yang ada di dunia ini, yang ada bersamanya, yang pernah berbicara dengannya, yang tersenyum itu, yang juga hidup seperti dirinya kini sudah tak ada. Di mana Kean? Apa yang dia lakukan sekarang? Apakah dia tahu kalau dirinya sedang memikirkannya? Bagaimana rasanya jika tak ada di dunia ini lagi? Evel melayang dalam pikirannya sendiri, mengingat sosok yang tak kan mungkin terlupakan.

"Vel, bangun," kata Meri.

Evel membuka matanya yang berat dengan pelan dan melihat Meri yang sedang membangunkannya serta Risa yang sedang duduk di sebelahnya sambil mengikat rambut panjangnya.

"Hari ini hari perpisahan, loh. Harus tampil cantik dan rapi. Terakhir kali pakai baju SMA," kata Risa dengan wajah sok dibuat sedih.

Evel bangkit dan duduk di samping Risa dengan malas.

"Hari ini kamu pidato perpisahan kan, Vel? Udah latihan? Yakin bisa?" tanya Meri.

"Evel sih gak usah latihan, dia udah biasa," balas Risa sambil kemudian tersenyum sejenak pada Evel di sampingnya. "Aku mandi duluan, ya?" katanya sambil ingin bangkit berdiri.

"Jangan lama-lama, ya!" ucap Meri.

"Enggak, aku hari ini mandinya kayak Evel kok, kurang dari lima menit," balas Risa sambil masuk ke dalam kamar mandi.

Evel tersenyum tipis.

Beberapa menit kemudian mereka bertiga sudah memakai seragam putih abu-abu.

Risa mengikat tali sepatunya di depan kost sementara Meri sudah berdiri di samping pagar menanti kedua temannya untuk segera pergi ke sekolah.

Evel memutar anak kunci. "Kean, hari ini hari perpisahan ...," bisik Evel dari dalam hatinya saat matanya menoleh ke pintu sebelah yang sudah sebulan ini tak pernah dibuka kembali. Dia lalu tersenyum hambar dan berbalik menyusul Meri dan Risa yang sudah menunggu di depan pagar.

Aula sekolah

Ini adalah hari kelulusan dan perpisahan. Hari yang telah ditunggu-tunggu Evel sejak lama, namun selama sebulan ini jujur saja dia sama sekali tak peduli pada hari yang pernah dia tunggu-tunggu ini.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang