Bab 17 - Melepaskan Diri

1.2K 117 29
                                    

"Sudah berulang kali aku mencoba untuk mengikhlaskanmu, tapi aku gagal. Berulang kali juga aku berpikir dan aku sadar, pergi memang jalan terbaik. Dan tinggalah aku di sini, menderita sendiri karena penyesalan."
.
.
.

"Hai, manis, dah~"

Suara dengungan lalu tubrukan dan dengungan lagi berulang-ulang menggema dalam telinga Evel. Dunia di depan matanya terasa berputar tak beraturan dan yang dia lihat adalah potongan-potongan masa lalu berisi suasana hari yang dipenuhi dengan teriakan, suara tak jelas, tangisan, truk yang melaju dan menubruk, Kean, serta darah yang merembet. Dunianya bergulung-gulung bagaikan air yang diaduk ke sana kemari. Potongan masa lalu yang bergulung ke sana kemari itu pun tiba-tiba berubah menjadi hitam pekat lalu suara truk yang melaju kencang serta gesekan besi-besi yang menghantam aspal melengking menusuk jauh ke dalam telinga.

Tiba-tiba sebuah benda besar seolah menghantam kepala Evel, namun yang terasa sakit tertindih adalah dadanya dan....

"Kean!" Evel terkejut seiring dengan dua bola matanya yang tiba-tiba terbuka dan keringat dingin yang jatuh meluncur dari dahi ke telinganya. Bibirnya terkatup rapat dengan rona pucat.

Evel terdiam mematung sambil menatap langit-langit kamarnya yang gulita. Irama jantungnya terasa dipacu dengan dahsyat.

Evel mencengkram seprai tempatnya tidur dengan erat. Kini irama jantungnya yang tadi tak menentu mulai mereda. Evel memejamkan matanya sejenak mengusir rasa takut dan kecut yang menghantam  memori otaknya. Dia lalu membuka matanya kembali dan perlahan bangkit dari tidurnya.

Evel menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya tadi kini jatuh ke pahanya. Sudah lama, sudah beberapa bulan berlalu sejak kecelakaan itu. Evel kira mimpi buruk tak kan datang lagi padanya, namun setelah beberapa bulan mimpi itu absen dalam tidurnya, kini ia kembali. Mimpi buruk yang mencengkeram, yang membuat Evel tenggelam dalam rasa takut, yang membuatnya harus menelan pil penenang. Mimpi yang terbawa ke dalam hari-harinya, yang membuatnya bertambah takut untuk melangkah di persimpangan, membuatnya menjadi takut tanpa alasan saat melihat truk, membuat jantungnya menjadi berdegup tak terarah saat mendengar suara roda-roda yang melaju kencang. Semua tentang hari itu yang tak kan pernah Evel mau sentuh lagi kini bangkit kembali di tengah kekosongan pikirannya.

Alis Evel mengkerut dan wajahnya menyiratkan kecemasan yang dalam. Dia terdiam hampa dalam senyapnya malam. Tak pernah, bahkan setengah detik pun dia menyangka bahwa perkenalannya dengan Kean akan membawanya ke dalam lorong gelap yang semenyedihkan ini.

Ctek

Evel menyentuh tombol on dengan jari telunjuknya yang sedikit gemetar dan ruangan kamarnya menjadi sedikit terang karena lampu meja.

Evel tahu, rasa bersalah, rasa bersalah lah yang menghukumnya. Tapi, Evel tak tahu mengapa harus seberat ini. Dia sadar, dia mengabaikan Kean, dia tak pernah menghargai keberadaan orang itu, tak pernah bersikap baik padanya. Namun, apakah dia harus menerima segala beban ini hanya karena semua hal itu. Merindukan orang itu, dan menyesali sikapnya pada orang itu sudah teramat cukup. Lalu, mengapa trauma berat ini juga harus menghantam hari-harinya.

"Kean. Aku ngerti, kenapa Tuhan mengambil kamu," batin Evel di tengah sunyinya kamar. "Aku aja semenderita ini, se-trauma ini, bagaimana dengan kamu, kalau kamu bertahan kamu pasti benar-benar menderita karena kejadian mengerikan itu," batinnya lagi. "Kean, aku harus bagaimana?" batin Evel pilu. "Bagaimana caranya menghapus mimpi itu. Kean, tolong datang ke mimpiku dengan senyuman kamu, tolong singkirkan bayangan mengerikan itu dari mimpiku," batin Evel lirih dan airmata terasa jelas menyentuh kedua bola matanya.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang