Bab 10 - Evel, Evel

1.2K 140 5
                                    

Evel duduk di atas tempat tidurnya dengan rambut yang basah dan handuk kecil berwarna cokelat yang menutupi kepalanya. Dia diam melamun, masih merasa kesal dengan apa yang diucapkan Kean siang tadi. Dia juga berpikir sepertinya Kean marah padanya karena saat terakhir bertemu tadi orang itu bicara dengan nada yang tak seperti biasanya, terlebih lagi sampai sekarang pun tidak ada tanda-tanda celotehan Kean yang biasa dia dengar dari sebelah kamar kost-nya ini.

"Bagus kalau dia marah atau udah gak suka aku lagi. Itu bagus buatku, kan," pikir Evel meyakinkan hatinya bahwa dia tak perlu cemas.

Lalu Evel mengusap-usap kepala dan rambutnya dengan handuk kecil yang sejak tadi menutupi kepalanya.

Dok dok dok

Sebuah ketukan terdengar di tembok belakang kost yang membatasi kost Evel dengan kamar sebelah.

"Hei, manis. Gerimis, bajumu udah diangkat belum?" tanya Kean.

Evel heran.

"Dia gak marah ke aku?" pikir Evel disambut keluhan putus asa yang terpancar di wajahnya.

Kean memasukkan baju-bajunya ke dalam keranjang. Dia lalu duduk di atas tempat tidur dan bersandar di dinding sambil mengambil gitarnya yang ada di samping tempat tidur.

"Hei, manis. Dengar, ya," ucap Kean sambil kemudian memetik gitarnya.

Depapepe- It was a good day

Evel merebahkan badannya. "Dasar aneh. Aku kira dia marah, ternyata masih aja sok deket," gumamnya sambil memeluk boneka pandanya dan mendengarkan melodi gitar yang dipetik Kean.

Tak lama kemudian Evel jatuh ke dalam mimpi, terlelap dengan suara gitar yang dimainkan Kean sebagai pengantarnya.

Ulangan semester telah selesai seminggu yang lalu. Hari ini pembagian rapor, teman-teman sekelas Evel tampaknya banyak yang memasang wajah tegang dan gugup. Namun, seperti biasanya Evel memasang wajah santai karena dia yakin betul dia pasti juara 1. Dia sudah berbelas-belas kali melewati hari seperti ini, dan hasilnya selalu sama, yaitu dia mendapat juara 1.

"Elvelin," ucap guru.

Evel sedikit heran, apa ini sudah giliran namanya dipanggil pikirnya. Bukannya masih ada satu orang lagi yang belum dipanggil sebagai juara dua.

"Elvelin, kamu juara dua," ucap guru disambut tepuk tangan teman sekelas namun tepuk tangannya tak kompak dan tak nyaring.

Evel tertegun.

"Ayo maju, ambil rapormu," ucap guru.

"Iya," ucap Evel pelan sambil berjalan ke depan kelas.

Risa menyenggol Meri, memberi isyarat bahwa tumben Evel juara dua.

"Juara satu, Rea!"

Suara tepuk tangan meriuhkan kelas.

"Rea, hebat."

"Wihh, juara satu ya tahun ini!" puji yang lain.

"Mantap!" sahut yang lain.

Sementara Rea menyambut sukacita atas peningkatan prestasinya, Evel terdiam memasang wajah murung. Evel tak percaya dia juara dua sekarang. Terlebih lagi respon teman sekelas berbeda. Saat dia juara 1, tidak ada teman yang bilang dia hebat, atau memujinya seperti yang mereka lakukan pada Rea. Suara gaduh tepuk tangan pun tak seriuh ini saat dia menerima juara 1.

Evel diam memasang wajah datar namun hatinya rasanya sangat panas. Dia merasa kecewa, sangat kecewa dan tak terima. Mengapa harus Rea yang mendapat juara satu, bukannya dia sudah belajar sebegitu giatnya pikirnya. Evel lalu menoleh dan melihat Rea yang sedang tersenyum gembira dikelilingi senyuman teman-temannya.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang